Sering Lupa Tapi Bukan Pikun-Dilema Ibu-Ibu 40 Plus


 Oleh: Siti Hajar

Di sebuah rumah sederhana, pada suatu pagi yang tampaknya damai, seorang ibu berdiri termenung di dapur. Wajan sudah mengepul, sayur sudah siap disiram, tapi sendok sayur—yang tadi jelas-jelas dipegangnya—tiba-tiba hilang seperti ditelan dimensi lain. Setelah mengobrak-abrik seisi dapur dengan ekspresi ala detektif drama Korea, sendok itu akhirnya ditemukan… di atas mesin cuci.

Tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana perjalanan benda logam itu bisa sejauh itu dari tempat asalnya. Tapi bagi ibu-ibu usia 40-an, peristiwa seperti ini bukanlah kejadian luar biasa. Justru, ini sudah seperti episode harian dalam sinetron kehidupan.

Faktanya, banyak ibu di usia 40 plus ini mulai menyadari bahwa mereka sering lupa. Lupa letak kunci, lupa membawa dompet, bahkan lupa apa yang sedang dicari. Ironisnya, seringkali mereka baru sadar sedang lupa ketika sudah mencari selama lima belas menit dengan gumaman: "Barusan ada di sini, loh..."

Namun, jangan buru-buru menyimpulkan itu gejala pikun. Para ahli menyebut kondisi ini sebagai momnesia, (bukan amnesia, lho ya…) atau kabut otak ringan yang umum terjadi saat seseorang—terutama perempuan—mengalami penurunan kadar hormon, kelelahan, stres berkepanjangan, atau hanya karena otaknya terlalu penuh dengan to-do list yang tiada habisnya.

Sederhananya: otak ibu-ibu ini sudah seperti lemari dapur yang terlalu penuh. Ditambah satu barang saja—misalnya harus ingat ulang tahun keponakan—langsung tumpah semuanya. Termasuk lupa letak kacamata yang ternyata sedang bertengger manis di kepala.

Fenomena ini seringkali menjadi bahan candaan keluarga. Anak-anak akan saling pandang dan berkata, “Mama mulai lagi, deh…” Suami akan mengangkat alis sambil bertanya dengan nada main-main, “Kali ini apa yang hilang?”

Tentu saja, yang hilang bukan hanya barang, tapi kadang juga kesabaran. Tapi jangan salah, ibu-ibu ini sesungguhnya sangat cerdas—hanya saja memorinya sedang terlalu sibuk. Mereka bisa mengingat jadwal kontrol anak ke rumah sakit, hari suami piket ngajar, nama guru wali kelas, kode diskon belanja online, dan bahan-bahan bubur favorit suami. Tapi tetap saja, charger HP bisa saja ditemukan di dalam tempat tisu.

Anehnya, meski sering lupa, para ibu ini justru semakin kreatif dalam mengatasi kekacauan kecil tersebut. Ada yang mulai menempel catatan di pintu kulkas bertuliskan: "Kacamata bukan makanan, jangan ditaruh di dapur lagi." Ada juga yang membuat alarm pengingat di HP: “Cek kompor sebelum keluar rumah.” Bahkan ada yang menyimpan kunci di dalam kotak bertuliskan, “Ingat ini, Siti masa depan!” Lucu enggak, sih!!

Strategi mereka mungkin terlihat konyol, tapi efektif. Dan yang paling penting: mereka tidak menyerah pada ejekan atau tatapan penuh heran. Karena dalam hati, mereka tahu ini hanya fase. Bukan awal dari kepikunan, tapi tanda bahwa tubuh dan pikiran mereka sedang bekerja terlalu keras.

Satu hal yang sering terlupa—dan ini ironis—adalah bahwa keluarga juga perlu diedukasi. Sering kali, yang membuat ibu-ibu ini merasa lelah bukan semata karena barang yang hilang, tapi karena komentar yang menyusul: “Kok Mama pelupa banget, sih?”

Padahal mereka hanya butuh dukungan kecil: senyum sabar, pelukan ringan, atau bahkan ikut membantu mencari kunci yang hilang tanpa mengeluh. Karena satu hal yang pasti, di balik kecerobohan-kecerobohan kecil itu, tersimpan cinta dan perhatian yang tak pernah putus.

Dan lucunya, meski sering lupa, mereka tak pernah lupa membangunkan anaknya untuk salat Subuh, dan menaruh uang jajan di meja makan untuk anaknya yang mau ke sekolah.

Mereka tak pernah lupa mencuci baju olahraga anak sebelum hari Kamis. Mereka juga tak lupa bahwa suami alergi cumi, anaknya lebih suka mie goreng daripada mie kuah. Dan bahwa tetangga sebelah sebel dengan aroma terasi.

Jadi, jika suatu hari seorang ibu berdiri mematung di ruang tamu, tampak bingung dan menggaruk-garuk kepala, jangan langsung menyimpulkan yang bukan-bukan. Mungkin saja dia sedang mengingat di mana meletakkan remote TV… yang ternyata sedari tadi ia genggam di tangan kiri.

Dan itu bukan pikun. Itu hanya tanda bahwa otaknya penuh cinta—dan butuh istirahat sejenak. []

 

Lebih baru Lebih lama