Saat Hanya Aku dan Diriku Sendiri

Oleh: Siti Hajar

Ada satu momen yang kerap aku rindukan dalam hiruk pikuk hari—momen saat aku benar-benar duduk… hanya dengan diriku sendiri. Tanpa layar yang berkedip, tanpa suara-suara yang mengajak bercakap. Hanya aku dan sunyi. Hanya aku dan segala kenangan yang pernah mampir.

Refleksi diri, atau perenungan, bukan sekadar aktivitas hening. Ia adalah pertemuan yang paling jujur antara aku dan nurani. Dalam keheningan itu, aku mengingat kembali hal-hal yang membuatku tersenyum, tertawa, menangis… bahkan terluka. Aku mencoba memahami dari mana rasa bahagia itu datang, dan apa sebenarnya yang membuatku pedih. Kadang, luka itu bukan karena orang lain. Kadang, luka itu datang dari kata-kata atau sikapku sendiri.

Aku menengok ke belakang. Apa ada hal yang aku lakukan yang mungkin tanpa sengaja menyakiti orang lain? Mungkin aku terlalu keras berkata-kata. Mungkin aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri sampai tak peka terhadap sekitar. Dan dari sana, muncul sebuah pertanyaan penting: Harusnya aku bagaimana?

Bukan untuk menyesali. Tapi untuk belajar.

Dan tahukah kamu, kapan biasanya proses ini terjadi padaku?

Saat aku salat. Terutama salat malam. Ketika dunia sedang terlelap dan hanya ada aku serta penciptaku dalam sunyi, saat itulah jiwaku paling jujur. Tak ada yang bisa kusembunyikan. Dalam sujud panjang, dalam dzikir yang lirih, aku seperti membuka kembali lembaran-lembaran yang siangnya sempat kuselipkan begitu saja. Kadang aku menangis, bukan karena sakit, tapi karena sadar: ada yang belum beres di dalam diri.

Jika suatu malam aku tak bangun—jika aku melewatkan momen itu—maka bukan hanya aku melewatkan salat malam. Aku juga melewatkan proses penyembuhan jiwa. Healing, begitulah orang-orang menyebutnya sekarang. Bagiku, healing bukan dengan jalan-jalan atau hiburan. Bagiku, healing adalah ketika aku bisa menghadap-Nya sambil membawa diriku sendiri dalam bentuk paling rapuh, paling sejujurnya.

Kalau aku melewatkannya, aku merasa sesak. Seolah ada beban yang belum aku lepaskan. Seperti saat kamu menahan buang air terlalu lama—tubuhmu mungkin terlihat baik-baik saja dari luar, tapi di dalam ada sisa yang tertahan, yang membuatmu tak nyaman, bahkan bisa jadi sakit. Begitu pula jiwaku. Kalau tidak sempat “membuang” sesak itu dalam doa dan perenungan, aku tahu... aku belum benar-benar sembuh. Aku masih membawa sisa-sisa luka yang semestinya sudah kutitipkan pada Tuhan malam itu.

Refleksi ini, bagiku, adalah kebutuhan. Ia bukan lagi pilihan. Aku tahu, dunia di luar bisa sangat bising, penuh tuntutan, kadang juga penuh ketidakadilan. Tapi dunia di dalam—di dalam diriku sendiri—jika tidak aku jaga, justru bisa menjadi sumber kehancuran yang tak terlihat.

Namun, dari semua proses itu, ada satu hal yang paling berat: memaafkan diri sendiri.

Seringkali, kita lebih mudah memaafkan orang lain dibanding diri sendiri. Aku pun begitu. Ada masa ketika aku dihantui rasa bersalah—karena keputusan yang salah, karena kata-kata yang terlalu tajam, karena diam yang terlalu panjang. Tapi sampai kapan aku harus terus memarahi diri sendiri?

Perenungan membawaku pada satu pemahaman: aku manusia biasa. Aku belajar, aku jatuh, aku berdiri lagi. Dan untuk bisa melangkah ke depan, aku harus berdamai dengan masa lalu. Aku harus berkata pada diriku sendiri, “Kamu sudah berusaha. Kamu sedang belajar. Dan itu tidak apa-apa.”

Memaafkan diri sendiri bukan berarti melupakan kesalahan. Tapi mengakui bahwa aku pernah salah, dan memutuskan untuk tumbuh dari sana.

Saat aku duduk bersama diriku sendiri, aku sadar: aku belum sempurna, dan aku tak perlu menjadi sempurna. Yang penting, aku tetap mencoba menjadi versi terbaik dari diriku, hari demi hari. Dan dalam proses itu, refleksi menjadi pelita. Ia menerangi jalan agar aku tak tersesat, bahkan ketika dunia terasa gelap. Allah aku butuh petunjukMu. []

Lebih baru Lebih lama