Resensi Buku, Hidup Kadang Begitu

Oleh: Siti Hajar

Hidup Kadang Begitu, karya Kang Maman Suherman dan Prof. Nadirsyah Hosen

Ada buku yang terasa seperti diskusi santai di sore hari. Tapi ada pula buku yang ketika dibaca, seolah kita duduk diam dalam ruang sunyi, mendengar isi hati kita sendiri dibacakan oleh orang lain. #HidupKadangBegitu adalah kombinasi keduanya. Ia mengalir tenang, tapi menyentuh hingga ke dasar jiwa.

Kang Maman Suherman, yang selama ini dikenal sebagai pencerita ulung, dan Prof. Nadirsyah Hosen, akademisi yang rendah hati dan berpikiran terbuka, menyatu dalam buku ini dengan nada yang jujur, liris, namun penuh makna. Buku ini bukan teori, bukan pula biografi. Ini adalah catatan harian batin yang dibagikan kepada siapa saja yang pernah merasa hidup tidak seperti yang mereka harapkan.

Menelisik Agama Tanpa Membebani

Satu bagian yang begitu menonjol dalam buku ini adalah bagaimana kedua penulis berbicara tentang agama. Tapi jangan bayangkan ceramah. Ini bukan kitab tafsir, bukan pula kumpulan dalil. Ini adalah refleksi personal tentang bagaimana kita sebagai manusia, dalam segala keterbatasannya, berusaha meraba makna iman dalam dunia yang kompleks.

Kang Maman menulis dengan kesadaran bahwa manusia sering kali lebih suka merasa benar daripada belajar memahami. Ia mencontohkan bagaimana banyak orang yang menyembunyikan keangkuhan di balik kata "demi kebenaran agama", padahal mereka tak lebih dari manusia-manusia biasa yang belum selesai memahami diri sendiri.

Prof. Nadir menambahkan nada ilmiah yang lembut, menyuguhkan kisah-kisah tentang bagaimana agama sebenarnya sangat manusiawi, sangat dekat, sangat akrab dengan keraguan, kesabaran, dan cinta kasih. Tidak ada penghakiman dalam tulisan mereka. Yang ada adalah ajakan untuk menjadi hamba yang rendah hati.

Ilmu, Bukan tentang Tahu, tapi Tentang Belajar

Jika kita menyangka ilmu adalah hasil, buku ini akan membantahnya. Ilmu adalah proses. Adakalanya, bahkan, ilmu adalah luka. Kita belajar karena kita pernah tersesat. Kita mencari karena kita sadar telah kehilangan arah.

Kang Maman menceritakan betapa hari ini orang bisa dengan mudah merasa cukup hanya dengan membaca headline. Kita seolah tahu segalanya hanya dari satu utas Twitter. Tapi justru di situlah jebakan paling bahaya: ketika kita berhenti bertanya, saat itulah kita berhenti menjadi manusia pembelajar.

Prof. Nadir menyambung dengan kisah-kisah klasik dari dunia Islam, menunjukkan bahwa ulama-ulama besar masa lalu justru dikenal karena kerendahhatiannya dalam belajar, bukan karena banyaknya gelar atau pengikut. Dalam dunia ilmu, rasa cukup adalah bencana. Sedang dalam dunia kehidupan, keraguan bisa jadi anugerah. Karena hanya orang yang ragu yang benar-benar ingin tahu.

Kemanusiaan, Belajar dari Diri Sendiri yang Tak Sempurna

Dalam bab tentang kemanusiaan, buku ini menemukan nyawa sejatinya. Di sinilah kekuatan Kang Maman sebagai seorang penulis narasi benar-benar menampakkan wajahnya. Ia menulis dengan gaya yang sangat manusiawi: menyentuh luka tanpa menghakimi, membalut keresahan tanpa perlu membereskan segalanya.

Kita diajak untuk menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita rencanakan. Bahkan sering kali, hidup berjalan justru ketika rencana itu gagal. Maka dari itu, kita butuh belajar menerima. Bukan pasrah, tapi berani menghadapi bahwa kadang hidup memang... begitu.

Kalimat-kalimat seperti ini, yang menghuni banyak halaman buku, seolah menjadi jendela menuju pemahaman baru. Bukan karena kita belum pernah mendengarnya, tapi karena kita sering lupa bahwa kita hanya manusia. Dan menjadi manusia itu tidak harus selalu tahu jawabannya.

Bukan Buku untuk Dihafal, tapi untuk Dirasa

#HidupKadangBegitu bukan buku untuk dicerna dengan tergesa-gesa. Ia bukan buku yang menjawab, tapi yang menemani. Tidak ada klimaks, tidak ada plot twist, tapi ada ketenangan yang tumbuh perlahan saat membacanya. Ini adalah buku untuk dibaca pelan-pelan, seperti menyeduh teh hangat di pagi hari, sembari mendengar desir angin dan detak detik yang bergulir.

Kang Maman dan Prof. Nadir tidak menjanjikan jawaban dari hidup. Tapi mereka berhasil mengajak kita berdamai dengan kenyataan bahwa hidup kadang tidak adil, kadang lucu, kadang melelahkan. Tapi semua itu... ya begitulah hidup.

Dan bukankah menerima hidup seperti apa adanya adalah cara terbaik untuk merayakan keberadaan kita di dalamnya? []

Lebih baru Lebih lama