Oleh: Siti Hajar
Di dunia yang
bergerak cepat, di rumah yang tak pernah benar-benar diam, ada satu kebutuhan
perempuan yang sering terlupakan: waktu untuk dirinya sendiri. Me time. Dua kata sederhana yang kerap dianggap
mewah, padahal sebenarnya adalah kebutuhan dasar. Seperti air dan udara, ia
dibutuhkan agar seorang perempuan tetap bisa berdiri tegak, tersenyum tulus,
dan berpikir jernih.
Bangun pagi disambut cucian kotor dan botol minum
anak yang entah ke mana. Menyiapkan sarapan sambil menenangkan anak yang tak
mau bangun. Menyapu remah-remah sisa sarapan sambil mendengar cerita suami soal
kerjaannya hari ini. Lalu, menjemput, mengantar, menyiapkan, membereskan,
mengingatkan. Ulang. Terus begitu. Bahkan saat malam datang dan rumah mulai
sunyi, kepala perempuan sering masih gaduh oleh daftar tugas yang belum selesai
dan rencana untuk esok hari.
Itulah kehidupan banyak perempuan. Dipenuhi oleh
hal-hal remeh temeh, yang justru karena saking remehnya, sering tidak dihargai,
bahkan oleh dirinya sendiri. Padahal di situlah cinta bersemayam: dalam hal
kecil, dalam yang tak terlihat. Tapi cinta juga butuh energi. Dan energi itu
tak datang kalau kita terus menerus mengabaikan diri sendiri.
Me time bukan
egois. Me time adalah bentuk kasih sayang pada diri sendiri. Sejenak berhenti bukan berarti lari dari tanggung
jawab. Justru dengan berhenti sebentar, perempuan bisa kembali dengan tenaga
yang lebih utuh. Reflektif. Tenang. Bahagia.
Apa itu me
time? Me time bukan harus pergi ke salon atau kafe sendirian. Ia bisa
sesederhana:
- Menyeduh teh favorit dan meminumnya dalam diam.
- Membaca
dua halaman buku yang sudah lama tertunda.
- Duduk di
teras rumah, mendengar suara angin, tanpa ponsel di tangan.
- Menulis
di jurnal tentang apa yang dirasa hari ini.
- Mandi
lebih lama dari biasanya, dengan aroma sabun yang disukai.
Yang penting bukan aktivitasnya, tapi niatnya:
bahwa ini waktu untukku. Bukan untuk membalas chat, bukan untuk mengurus
kerjaan. Hanya untuk hadir dengan diri sendiri, utuh.
Kenapa ini penting, terutama bagi
perempuan? Karena
perempuan sering kehilangan dirinya dalam peran. Ibu. Istri. Anak. Karyawan.
Semua identitas itu menyatu, tapi sering menenggelamkan "aku" yang
sejati. Me time membantu kita menyapa diri sendiri lagi: “Hai, kamu masih ada,
ya. Terima kasih sudah sejauh ini.”
Dengan me time,
perempuan bisa:
- Mereset
ulang emosi yang kacau setelah hari yang berat.
- Merefleksi
keputusan-keputusan kecil yang selama ini dibuat karena terpaksa, bukan
karena sadar.
- Mengistirahatkan
tubuh dari kelelahan fisik yang tidak tampak.
- Menjernihkan
pikiran sebelum mengambil keputusan penting.
Hal-hal kecil
yang penting untuk diketahui:
- Me time tidak perlu lama. Lima menit yang penuh kesadaran lebih
berharga dari satu jam yang masih sibuk dengan distraksi.
- Me
time tidak harus menunggu semua urusan selesai. Karena urusan rumah tangga memang tidak akan
pernah benar-benar selesai.
- Me
time harus dijadwalkan. Jangan menunggu waktu luang, karena waktu luang tidak akan datang
sendiri. Kita yang harus menciptakannya.
- Me
time itu personal.
Jangan merasa bersalah karena ingin hal yang berbeda dari orang lain. Kalau
me time-mu adalah menyiram tanaman sambil mendengarkan lagu lawas, itu
sah.
- Minta
dukungan. Libatkan
pasangan atau keluarga. Katakan, “Aku butuh waktu sendiri sebentar.” Itu
bukan keluhan, itu perawatan diri.
Perempuan tidak diciptakan untuk jadi robot
penyelesai tugas. Perempuan adalah manusia yang butuh ruang, butuh diam,
butuh pulih. Dan dalam sunyi itulah,
sering kali, kita kembali menemukan makna.
Karena saat perempuan diberi ruang untuk menyendiri, ia justru bisa kembali hadir sepenuh hati. []