Lontong Ibu Belakang Kantin, Penyakit Maag serta Pelajaran Olahraga

Oleh: Siti Hajar

Ada banyak kenangan masa SMA yang tak bisa kulupakan, tapi yang paling membekas justru bukan yang berbau akademik. Bukan soal prestasi, bukan pula tentang nilai ulangan. Tapi soal rasa. Rasa jengah, rasa lapar, dan rasa rindu yang kini menjelma jadi nostalgia. Kenangan yang tidak mungkin terulang kembali

Pelajaran olahraga adalah salah satu yang tidak kusukai, aku benar-benar membencinya. Bukan karena aku tak bisa berlari atau aku tak bisa senam, tapi karena aku sebel kalau berkeringat. Aku tak suka berganti pakaian, dan baju olahragaku yang kurang longgar membuatku makin tidak nyaman. Rasanya jengah. Setiap kali jam olahraga datang, semangatku langsung surut.

”Boleh enggak ya, pura-pura sakit dan aku cukup di kelas tidak harus ganti baju?”

Berbeda dengan Muslem, temanku yang satu ini seakan dilahirkan untuk pelajaran olahraga. Ia bersemangat, lincah, dan selalu tampak menikmati setiap menit beraktivitas di lapangan. Dia sangat senang bermain bola voli, bahkan siang-siang pun jadi.

Tak heran, kini ia menjadi seorang polisi. Pekerjaan yang bukan hanya butuh fisik kuat, tapi juga otak yang cemerlang. Dan Muslem punya keduanya. Kadang aku berpikir, mungkin pelajaran olahraga itu memang menyaring siapa yang akan tangguh di masa depan. Dan ternyata yang kemudian menjadi polisi di angkatanku setidaknya ada lima orang, yang aku ingat.

Tapi kalau bicara pelajaran kesukaan, jujur saja—aku tak benar-benar suka pelajaran apa pun. Bagiku, sekolah adalah tempat untuk bertemu teman, jajan, dan bersenang-senang. Aku suka ngobrol tak tentu arah.

Dan tidak ada tawa yang lebih nikmat selain saat kami kabur ke kantin belakang—lebih tepatnya ke warung ibu penjual lontong sayur. Warung sederhana itu menyajikan surga kecil kami—lontong  dengan kuah hangat mengepul, di atasnya tumpukan santan yang tebal serta minyak yang gurih.

Belum lagi tauco cabe ijo yang pedasnya menggigit, dan kerupuk pink-putih yang renyah, menyatu dalam satu mangkuk yang membuat kami lupa dunia. Bahkan sebelum jam pelajaran dimulai, aku sudah berada di sana. Kalau belum sarapan di rumah, aku bisa tambah dua kali. Lontong ibu itu bukan sekadar makanan, tapi pelipur lara anak-anak SMA yang lapar secara harfiah dan batiniah.

Teman-teman yang punya maag—yang dulu kami sebut dengan bangga sebagai "penyakit anak SMA"—juga ikut berburu lontong. Telat makan, sakit perut. Kebanyakan makan, tetap sakit perut.

Namun, kami tak peduli. Asal perut kenyang, pelajaran bisa dilalui dengan sedikit lebih damai. Sebenarnya aku ingin menyebut satu per satu nama mereka yang dulu meringis saat belum ke kantin, tapi ah… biarlah. Tak semua orang senang namanya dikaitkan dengan asam lambung dan perut melilit.

Hari ini baru aku tahu, ternyata semua itu bukan sekadar soal makan pedas atau telat makan. Tapi juga karena tekanan—ya, stress! Aneh memang, anak SMA bisa stress? Tapi faktanya, iya. Masa remaja adalah masa mencari jati diri, masa ingin diterima oleh teman, masa penuh gejolak menyukai lawan jenis, padahal itu teman sendiri. Parah ya!!

Padahal aslinya seperti lagunya penyanyi Aceh-Nazar;

“Lon galak keu gata, Gata galak keu gob, gobnyan galak keu gobnyan. Gobnyan galak keu gobnyan yang laen lom…” Hahaha...

Belum lagi tekanan dari pelajaran. Kami punya guru Matematika dan guru Fisika yang, maaf, aduhai luar biasa. Sebelum mereka masuk kelas, jantung sudah deg-degan. Apalagi kalau ada PR yang belum selesai. Ancamannya bukan hanya nilai yang enggak jelas angkanya, tapi juga cubitan mesra yang menyayat harga diri. Tapi kami terima saja. Karena setelah semua berlalu, kami tahu… mereka mencintai kami dengan cara yang keras namun tulus.

Kini kami menapaki jalan hidup kami masing-masing. Ada yang jadi pebisnis, ada yang jadi guru, dan ada yang jadi polisi dan ada yang menulis kenangan ini. Dan ituu akuuhhhh.

Satu hal yang pasti, semua sudah menjadi istri dan suami orang lain.  Semuanya, tanpa disadari, adalah bagian dari proses yang kami lalui bersama.

Untuk para guru kami yang masih aktif mengajar—barakallah, semoga selalu sehat dan penuh berkah.
Untuk mereka yang telah berpulang—semoga Allah tempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya.

Dan untuk Lontong Ibu Belakang Kantin… semoga suatu hari nanti kami bisa mencicipi lagi, bersama-sama. Dengan perut lapar yang masih sama, dan tawa yang kini penuh kenangan. [] 

Lebih baru Lebih lama