Ketika Suami Diam-Diam Pergi dan Diam-Diam Menyimpan Luka


 Oleh: Siti Hajar

Beberapa waktu lalu, seorang teman datang kepadaku. Wajahnya pucat dan sembab, seolah baru selesai menahan tangis yang tak sepenuhnya bisa ditumpahkan. Ia duduk di hadapanku dengan tubuh lelah, lalu berkata lirih, “Suamiku meninggal. Mendadak. Serangan jantung.”

Aku terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Aku tahu suaminya—pribadi yang tenang, pendiam, pekerja keras, dan nyaris tak pernah mengeluh. Temanku melanjutkan ceritanya, kadang terisak, kadang terdiam sambil memeluk cangkir teh yang mulai dingin.

“Aku enggak tahu dia sakit. Dia enggak pernah cerita. Nggak pernah bilang kalau dadanya sering sesak. Nggak pernah ngeluh capek. Dia seperti biasa aja. Sampai akhirnya... dia pergi. Tanpa aba-aba.”

Mataku ikut memanas. Aku bisa merasakan getir yang mengendap di kalimatnya. Kesedihan yang bercampur rasa kecewa. Karena bagaimana bisa seseorang yang begitu dekat… justru menyembunyikan hal paling penting dalam hidup—dan kematiannya?

Dan luka itu ternyata belum selesai.

Beberapa minggu setelah kepergian suaminya, sebuah rahasia terkuak. Seorang perempuan datang, membawa serta seorang anak laki-laki yang kini telah duduk di bangku SMP. Dan perempuan itu—dengan tenang, tapi pasti—mengatakan bahwa anak itu adalah darah daging suami temanku. Suami yang selama ini ia kenal, ia cintai, ia rawat, dan ia percayai.

“Dia menikah lagi… tanpa aku tahu. Diam-diam. Dan sekarang… dia sudah tiada. Aku bahkan tidak bisa bertanya kenapa,” ujarnya dengan suara nyaris patah.

Apa yang bisa kau katakan untuk meredakan luka semacam itu? Ketika duka karena kehilangan bercampur dengan pengkhianatan yang tak sempat dijelaskan. Ketika satu demi satu rahasia terkuak justru setelah jasad terkubur.

Kita seringkali mengira cinta bisa menebus segalanya. Tapi ternyata kejujuranlah yang menjadi pondasi kepercayaan paling dalam. Dan ketika kejujuran itu tak pernah hadir, kepergian pun terasa seperti pengkhianatan.

Pengalaman temanku membuatku merenung panjang. Bagaimana jika aku yang mengalaminya? Bagaimana jika suamiku pun memilih diam, memilih memikul semua beban sendirian, memilih menyimpan luka, rahasia, dan rasa sakit tanpa pernah membaginya—hingga akhirnya pergi tanpa pamit?

Suami yang introvert memang kerap kali menyimpan semuanya dalam diam. Mereka belajar sejak kecil untuk tidak menangis, untuk tidak mengeluh, untuk selalu terlihat kuat. Dan seringkali, mereka lupa bahwa kekuatan terbesar justru terletak pada keberanian untuk terbuka.

Aku sadar, aku tidak bisa memaksa pasangan untuk bicara. Tapi aku bisa menciptakan ruang agar ia merasa aman untuk terbuka. Aku bisa mulai dari hal kecil—menemani tanpa menginterogasi, mendengar tanpa menyela, dan hadir tanpa menghakimi.

Aku ingin menjadi tempat pulang, bukan tempat dia harus berpura-pura baik-baik saja.

Dan lebih dari itu, aku juga ingin belajar membaca tanda-tanda. Bukan hanya tanda fisik, tapi juga emosi. Karena cinta bukan sekadar kata-kata, tapi kepekaan dan kepedulian yang menyelamatkan.

Aku tak ingin menyesal karena tidak tahu. Aku ingin jadi orang pertama yang tahu ketika dia merasa tak sanggup, ketika dadanya terasa berat, atau ketika pikirannya dipenuhi kegelisahan. Karena kalau aku istri, aku ingin jadi rumah—bukan hanya tempat tinggal, tapi tempat yang membuatnya ingin hidup lebih lama, lebih tenang, dan lebih jujur.

Dan jika suatu hari takdir tetap memanggilnya lebih dulu, aku ingin ia pergi dalam pelukanku. Dengan hati yang terbuka. Tanpa rahasia. Tanpa kebohongan. Tanpa luka yang ditinggalkan dalam diam.

Semua yang terjadi dalam hidup kita adalah takdir Allah. Namun, aku yakin bisa memilih takdir yang baik. []

 

Lebih baru Lebih lama