Oleh: Siti Hajar
Kampungku dalam bahasa Aceh disebut gampong. Ia terletak jauh
di pedalaman Pidie-Aceh. Aku sangat mencintai tanah kelahiranku itu. Sungai
Krueng Baro membatasi gampongku dengan areal persawahan. Saat Aku kecil
seringkali kami bermain di sungai itu. Dulu masih banyak batu teratur rapi di
pinggir sungai.
Akan tetapi kini tidak terdapat lagi batu dan kerikil di
sungai itu. Ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mengambil lebih banyak
batu, pasir dan kerikil sebagai material bangunan. Bebatuan itu diangkut dengan
truk besar ke kota dan kampung lain saban hari tiada henti. Mereka mengambil
keuntungan dari mengeruk pasir dan bebatuan dari sungai kami. Aku tidak tahu
siapa yang salah.
Saat Aku kecil, ibuku setiap hari mencuci pakaian di
sungai. Saat menemani Ibu, Aku melihat banyak ikan bersembunyi diantara
bebatuan. Aku kecil cukup lihai menangkap udang di balik batu, saat air sungai
tenang.
Kadang kami menggunakan jebakan, daun pinang yang jatuh
dari pohon. Jebakan dibenamkan menjelang malam hari, dan kami mengangkatnya
saat pagi hari, sebelum orang-orang ramai pergi ke sungai. Berloncatanlah
udang-udang kecil yang terjebak di sana.
Namun, pemandangan anak-anak yang menjebak udang
menggunakan pelepah pinang di kampungku sudah tidak ada lagi. Tradisi itu sudah
punah kini.
Aku menyesali itu. Tidak hanya alam yang tergerus zaman. Moral dan etika
juga ikut serta berubah. Anak-anak dulu bermain di alam, berlarian ke sana
kemari, main lompat tali, main engklak. Aku dan teman-temanku sangat senang bermain
kelereng yang kadang kami ganti dengan biji meinjo. Melinjo, hasil ikutannya
emping melinjo adalah komoditas andalan gampongku.
Warga gampong yang dulu lugu, sekarang menjadi warga yang
kritis. Kritis terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Termasuk ketika
seorang menikah, langsung akan menerawang, kira-kira kapan hamil. Apakah sesuai
antara bulan menikah dengan bulan lahiran.
Jika ditemukan keanehan ketika hitung-hitungan bulan,
orang akan menuduh ada yang salah. Merebaklah dugaan bahwa si fulan begana dan
begini, “Coba kau ingat, kan si fulanah menikah bulan syawal yang lalu, masak
baru tujah bulan sudah lahiran, jangan-jangan…”
Menduga dan menerka tidak ada dasar ilmiahnya. Dengan
mulut monyong mereka menggunjing saudaranya sendiri. Dari ujung gampong sebelah
Barat hingga ke Timur, bahasannya tidak lain selain mencari cela orang lain.
Zaman sekarang, kita tidak heran bila perempuan yang menyenangi
gosip karena sejak dulu juga sudah demikian. Beda halnya jika yang menikmati
ghibah itu laki-laki. Mereka tidak kalah ikut menyebarkan berita yang belum
tentu benarnya. Laki-laki sekarang pun mulutnya pun mesti dicabein. Tontonan
wajibnya berita artis selingkuh dan kawin cerai-kawin cerai yang disukai. Hape pintar di tangan bukan untuk
membuat orang-orang pintar melainkan, membuat rusak akal dan pikiran.
Anak-anak bermain di sungai dan main kelereng berganti
dengan main tik tok dan game online. Café yang menyediakan fasilitas wifi
menjadi incaran anak-anak sekarang.
Pun demikian dengan anak-anak mengaji, mereka mengaji
tapi ruhnya tidak di sana. Repetan panjang maknya yang membuat mereka beranjak
dari main game menuju rumah guru ngaji. Saat sedang mengajipun yang mereka bayangkan tik-tok-an postingan-postingan
aneh di sana.
Jajanan anak sekarang juga berubah. Kalau dulu minta uang
ke orangtua untuk beli jajan, mie goreng, pisang goreng, bakso, berubah minta
jajan untuk beli paket data internet, atau bayar rental PS. Tidak jarang juga
uang jajan dihabiskan membeli chip.
Aku juga sedih, ada banyak kasus rumah tangga hancur
akibat game online ini.
“Irna, kamu tahu Bang Majid sudah enam bulan tidak pulang
ke rumah,” ujar Kak Yanti kawan mengajiku dulu sekaligus kakak kelasku, suatu
ketika saat Aku pulang kampung dan menyambangi rumahnya.
Mereka menikah sudah lama. Saat ini sudah memiliki dua putra
dan putri. Anak Pertama Minda berusia 11 tahun dan anak bungsunya Yadi masih berusia tiga tahun.
“Lho, emang kenapa, Kak?” tanyaku. Terkejut dengan berita
yang baru saja saja kudengar.
Bang Majid bukanlah orang yang lalai menurutku. Walau
bukan orang yang alim, namun Majid Muda jarang meninggalkan salat.
“Kakak dengar dia menikah lagi. Isma adiknya, bilang
mereka kenal melalui facebk, yang
kemudian jatuh cinta dan menikah.”
Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatiku. Semudah itukah
laki-laki jatuh cinta, hanya melihat perempuan yang memampang fotonya di fb,
menggunakan aplikasi camera dengan resolusi tinggi. Perempuan burik bisa
menjadi kinclong, yang gendut bisa langsing, yang muka petak bisa menjadi
runcing. Astaghfirullahal ‘adhim.
“Terus, sekarang kakak gimana?” tanyaku kemudian setelah
saling diam dengan pikiran masing-masing.
“Enggak tahu, Dek, kakak masih cinta sama Bang Majid,
demi anak-anak, Kakak bertahan,” sahut Kak Yanti sendu, seolah tidak ada
pilihan lain baginya.
“Hal yang membuat kakak sedih dan menderita adalah, sejak
itu Bang Majid melupakan kewajibannya,
menafkahi kami, keluarganya. Harusnya menjadi tanggung jawabnya. Memang
ada yang dia kirim, tapi itu jauh dari cukup. Sebulan dia hanya mengirim 400
ribu untuk kami bertiga, mana cukup, Irna. Sekarang semua kebutuhan pokok
mahal, beras, gas juga jajan untuk Minda dan Yadi,” keluhnya lagi dengan
perasaan kecewa.
Kak Yanti terlihat sekali menahan emosinya, agar
airmatanya tidak tumpah di depanku.
“Kamu
tahu, Bang Majid kecanduan game online,
habis uangnya untuk beli chip. Upah
dia sebagai tukang habis untuk main judi itu. Darimana lagi uangnya sekarang.
Dia enggak sadar sekarang malah dia harus menanggung dua rumah.”
Kak Yanti, kini harus bekerja keras, menjadi tukang cuci
gosok baju di rumahnya Bu Rahmi, orang kaya di gampong ini.
Smart
phone tidak hanya membuat
lalai tapi membuat orang lupa diri, lupa tanggung jawab kepada keluarga, orang
tua bahkan lupa terhadap dirinya sendiri.
Aku tidak banyak berkomentar, juga tidak berani ikut
campur lebih jauh. Tidak ada yang harus kukatakan untuk menasehatinya, selain
memintanya untuk bersabar dan terus mendoakan suaminya, agar Allah memberi
hidayah dan membuka hatinya yang telah lalai.
Lain hal lagi dengan cerita Kak Hanni, anaknya tidak mau
sekolah lagi. Katanya untuk apa sekolah. Saat ini orang-orang kaya di kampung bukan karena
sekolah. Orang yang berpendidikan malah hidup susah. Tidak ada pekerjaan bahkan
harus mengganggur lama, baru kemudian ada pekerjaan yang sesuai dengan latar
belakang pendidikannya
“Mak, coba lihat Bang Mursyid, uangnya banyak, dia
sekolahnya cuma tamat SMA aja tapi rumahnya bagus, malah kemarin mampu umrahkan
sepuluh orang anggota keluarganya.”
Anaknya Kak Hanni, tidak tahu bahwa Bang Mursyid, sejak
dari kakeknya memang orang kaya. Usaha tambaknya kian berkembang, sekarang
hampir mencapai empat hektar, bahkan lahan-lahan yang disampingnya sudah
menjadi milik Bang Mursyid.
Semua berubah. Banyak hal tidak lagi masuk logika. Tidak
heran Abuwa Malik orang dengan gangguan jiwa di kampungku tidak kunjung sembuh.
Padahal apa yang tidak dimiliki Abuwa Malik. Kebun durian dan rambutan sejauh
mata memandang dia yang punya. Anak-anaknya berpendidikan, memiliki hidup yang
sangat layak dibandingkan hidupku dan juga keluarga Kak Yanti.
Aku, seorang ASN dengan golongan rendah. Kehidupanku
biasa saja. Walaupun demikian, Aku tidak merasa kurang dengan rizki yang sudah
Allah tetapkan untukku. Aku bersyukur memiliki keluarga yang sangat mencintai
dan menyayangiku.
“Irna sayang, cintaku, manisku.” Tiba-tiba suamiku, yang
kucinta sepenuh hati.
“Emm, iya, Bang,” jawabku malu karena lama mengabaikan
pandangan penuh cintanya sedari tadi.
“Sini, cium dulu,” katanya manis, semanis gula di dalam
toples kami yang hanya tinggal delapan sendok lagi jika ditakar.
“Emm, pasti ada maunya ni,” ujarku curiga.
“Kopi Abang, …, tuh air di kompor sudah mendidih sedari
tadi, uda hanguspun berangkali.”
“Oh.” Aku tercekat lamunanku terhenti. Ini panggilan
surgaku.
Seketika Aku bangkit menuju kompor, mematikannya.
Mengambil cangkir, memasukkan bubuk kopi dan menuangkan air panas tadi.
Seberapapun sibuknya istri, kopi suami enggak boleh lupa dong. Aku tersenyum. I love you my love. Alhamdulillah, hidup kami masih normal. []