Oleh: Siti Hajar
Akhir-akhir ini aku merasa lebih tenang. Bukan
karena beban hidup tiba-tiba ringan, bukan juga karena dunia menjadi lebih
baik. Tapi karena aku mulai belajar satu hal yang sederhana tapi sangat
berharga: berani mengatakan tidak.
Tidak pada ajakan yang terasa memaksa. Tidak pada
aktivitas yang menguras tenaga tapi tak mengisi jiwa.
Tidak pada hal-hal yang menurutku... sia-sia.
Bukan berarti kita tak boleh bersenang-senang.
Justru kadang, menuruti kata hati untuk melakukan sesuatu yang tampaknya remeh
bisa jadi bentuk kejujuran diri. Tapi tetap, selektif itu perlu. Menyaring
rutinitas dan pilihan hidup bukanlah bentuk kekakuan, melainkan wujud
penghargaan pada waktu dan energi yang kita miliki.
Karena semakin dewasa, aku makin sadar bahwa tak semua yang menyenangkan itu menenangkan. Tak semua keramaian itu menyembuhkan. Dan tak semua ajakan harus kita iyakan, hanya demi menjaga citra. Ini pekerjaan yang sia-sia dan tak ada gunanya.
Aku orang yang tidak mudah merasa nyaman dalam
keramaian. Berada di tengah banyak orang sering membuatku lelah secara batin.
Tapi selama ini, aku menahan itu semua karena takut dianggap tidak ramah. Takut
disebut tidak supel. Takut dikira menjauh.
Padahal, menjaga jarak itu kadang perlu. Bukan
untuk menjauh dari orang, tapi untuk mendekat pada diri sendiri. Bukan karena
membenci keramaian, tapi karena ingin menjaga batin tetap utuh.
Dan di sinilah aku belajar: mengatakan tidak
adalah cara halus untuk melindungi diri dari luka yang tak perlu. Menghindari
ajakan bukan berarti tidak peduli. Kadang, justru itu tanda bahwa kita sedang
belajar peduli—pada diri sendiri.
Dari Sisi Psikologis-Asertif Bukan Egois
Secara psikologis, kemampuan mengatakan tidak
adalah bagian dari keterampilan asertif—yakni keberanian menyampaikan
kebutuhan dan perasaan pribadi dengan jujur dan hormat, tanpa menyakiti orang
lain dan tanpa mengorbankan diri sendiri.
Ketika kita terus menerus bilang "iya"
hanya karena tidak enakan, kita tanpa sadar sedang mengikis batas kita sendiri.
Kita menumpuk stres dan tekanan batin dari hal-hal yang seharusnya bisa kita
tolak sejak awal. Dan stres yang datang dari keterpaksaan seperti itu sering
kali lebih melelahkan dari pekerjaan berat sekalipun.
Seseorang yang tidak bisa menolak akan lebih
rentan merasa kewalahan, bahkan terhadap aktivitas ringan sekalipun. Tubuhnya
mungkin tampak baik-baik saja, tapi jiwanya tertekan.
Sering kali, bukan karena dunia terlalu kejam, tapi karena kita terlalu sibuk
menjadi versi diri yang selalu menyenangkan semua orang.
Jangan Tanyakan Alasannya...
Jangan tanya mengapa sebagian orang memilih tidak
ikut acara kumpul-kumpul, tidak nimbrung di acara komunitas, atau menolak ajakan jalan-jalan.
Bagi mereka, itu bukan soal tidak suka sosialisasi. Tapi karena mereka tahu:
menjaga energi batin jauh lebih penting daripada sekadar hadir secara fisik
tapi merasa hampa.
Dan ini bukan tentang menjadi antisosial. Ini
tentang menjadi sosial dengan penuh kesadaran.
Hadir ketika memang ingin hadir. Berkumpul karena merasa nyambung, bukan
karena merasa wajib. Memberi waktu karena dari hati, bukan dari keterpaksaan.
Me Time: Ruang untuk Pulih
Me time bukan tentang melarikan diri dari tanggung
jawab, tapi tentang menciptakan ruang untuk pulih. Ruang sunyi yang membuat
kita kembali utuh. Ia bisa hadir dalam bentuk kecil tapi bermakna:
- duduk diam tanpa ponsel,
- menulis jurnal pribadi,
- menyeduh
teh dan menikmatinya perlahan,
- memandangi
langit sore dari beranda rumah,
- atau
sekadar menarik napas panjang dan berkata: “Terima kasih, diriku.”
Ketika kita berani mengatakan “tidak” pada hal-hal
yang merugikan jiwa, sesungguhnya kita sedang membuka ruang yang lebih luas
untuk mengatakan “ya”—pada hal-hal yang menumbuhkan.
Ya, pada ketenangan. Ya, pada kesehatan mental.Ya,
pada cinta yang lebih jujur, termasuk untuk diri sendiri.
Hei kamu yang sedang membaca artikel ini. Apakah
kamu seperti aku, sedang belajar mengenal batas. Belajar menata ulang
prioritas. Belajar memberi waktu untuk pulih dan bukan terus-terusan memenuhi
ekspektasi.
Jika ya, izinkan aku berkata satu hal: kamu tidak egois. Kamu hanya sedang menyayangi dirimu sendiri, dengan cara yang lembut. Dan itu... sungguh indah. Kamu bisa belajar untuk ini. []