Oleh: Siti Hajar
Liburan kemarin menyisakan sebuah renungan yang
diam-diam terus menggelitik hati saya. Semua bermula dari reuni temu kangen yang terkangen-kangen bersama
teman-teman SMA. Di tengah obrolan hangat dan gelak tawa nostalgia, saya
bertemu kembali dengan Aminah—teman lama yang namanya selalu saya ingat
bersamaan dengan satu hal: apom merah jambu.
Apom itu bukan sekadar jajanan pasar bagi kami. Ia
adalah ikon kecil dari masa kanak-kanak, simbol cinta dan warisan rasa yang
menempel kuat dalam ingatan siapa pun yang pernah mencicipinya. Teksturnya
lembut, manisnya tidak berlebihan, dan aroma raginya khas—seolah menyampaikan
pesan diam-diam bahwa kue ini dibuat bukan hanya dengan resep, tapi juga dengan
hati.
Aminah berasal dari keluarga pembuat apom merah jambu paling terkenal di daerah kami. Nama keluarga mereka hampir menjadi jaminan mutu di warung-warung yang menyebar ke seluruh pelosok kabupaten, mulai dari padang Padang Tiji, Kembang Tanjung sampai ke Meureudu dan Ulee Gle.
Namun yang tak banyak orang tahu—dan saya beruntung
mengetahuinya dari cerita Bapak, yang bersahabat dekat dengan ayah dan kakak
Aminah—adalah bahwa apom itu dibuat dengan cara yang benar-benar tidak
main-main.
Tepung beras yang digunakan, misalnya, bukanlah hasil beli dari pasar tetapi berasal dari beras Tangse yang terkenal dengan rasanya yang enak, warnanya putih dan aromanya wangi. Mereka menumbuk sendiri beras pilihan itu yang sebelumnya direndam, kemudian digiling menggunakan mesin khusus, sampai menghasilkan adonan tepung basah dengan kekentalan yang sesuai.
Selanjutnya, baru ditambahkan gula pasir, garam serta ragi. Lalu didiamkan lebih kurang selama 5 jam baru kemudian dikukus. Bahkan pewarna merah muda yang digunakan dipastikan tidak asal-asalan—harus memberikan tampilan yang menggugah tanpa mengubah rasa. Ini bukan sekadar kue. Ini adalah seni.
Sayangnya, usaha keluarga itu kini tinggal cerita.
Aminah sendiri, saat kami bertemu, mengakui bahwa tidak ada lagi anggota
keluarga yang bisa—atau mungkin sanggup—meneruskan usaha tersebut. Saya sempat
tercekat. Bukan hanya karena kehilangan rasa kue itu, tapi karena terasa
seperti kehilangan satu lembar sejarah lokal yang begitu bermakna.
Ingatan saya pun langsung melompat ke kisah dalam
buku Madre karya Dee Lestari—tentang biang roti tua yang tersimpan di
lemari pendingin, menanti seseorang yang entah siapa, untuk menghidupkannya
kembali. Sama halnya dengan apom merah jambu keluarga Aminah. Resep dan proses
itu kini tak lagi aktif, tapi saya yakin, ia belum benar-benar hilang. Ia hanya
sedang tidur.
Aminah, di sisi lain, telah menempuh jalan yang
luar biasa. Ia kini seorang apoteker di rumah sakit besar di kota kami. Selain
itu, ia membuka apotek sendiri yang cukup ramai, memiliki usaha laundry yang
berkembang pesat, dan menjalankan bisnis jualan online yang dikelolanya dengan
tekun. Melihatnya bercerita penuh semangat tentang dunia farmasi dan dunia
wirausaha, saya tahu bahwa semangat keluarga pembuat apom itu tetap menyala di
dalam dirinya—hanya saja dalam bentuk yang berbeda.
Saya tidak tahu apakah suatu hari Aminah akan
kembali menyentuh adonan apom itu, atau mengajarkan cara menumbuk beras pada
generasi berikutnya. Tapi saya percaya, sesuatu yang dibuat dengan cinta tidak
akan benar-benar lenyap. Ia hanya menunggu waktu yang tepat. Seperti biang roti
dalam lemari dingin. Seperti cerita yang sabar menunggu penulisnya.
Dan mungkin, suatu hari nanti, seseorang akan
membuka kembali resep apom merah jambu itu, mengayak tepung buatan sendiri, dan
berkata, “Ini bukan hanya kue. Ini adalah ingatan. Ini adalah warisan.”
Kangen apom merah jambu Aminah.😊 []