Oleh: Siti Hajar
Dalam film
Jepang Perfect Days karya Wim Wenders, kita diajak menyelami kehidupan
Hirayama—seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai petugas kebersihan toilet
umum di Tokyo. Ia bangun pagi setiap hari, menyiram tanaman kecil di jendela
kamarnya, memutar kaset musik kesayangannya dalam mobil tua, lalu bekerja
dengan sepenuh hati, membersihkan toilet satu per satu dengan ketelatenan yang
nyaris seperti ibadah.
Tak ada target muluk. Tak ada ambisi yang gemuruh.
Tapi justru dalam keteraturan yang sederhana itu, kita menyaksikan makna sejati
dari hidup yang produktif. Bukan karena ia mengejar banyak hal, tapi
karena ia hadir sepenuh jiwa dalam setiap hal yang ia lakukan.
Dari Hirayama, kita belajar bahwa produktivitas
bukan soal kesibukan tanpa jeda, melainkan tentang mengerjakan sesuatu dengan
sadar, dengan hati, dan dengan penghargaan terhadap waktu—bahkan terhadap
hal-hal yang tampak sepele di mata orang kebanyakan.
Hingga suatu waktu, kehidupan sunyinya mendapat
kunjungan tak terduga. Seorang gadis remaja—keponakannya sendiri—datang ke
rumahnya. Ia datang karena tengah berselisih dengan sang ibu. Maka mulailah
hari-hari yang berbeda bagi Hirayama, lelaki yang terbiasa menyendiri, yang
menikmati sepeda dan langit Tokyo di akhir pekan, kini harus berbagi ruang
dengan seseorang yang asing tapi juga bagian dari dirinya.
Tentu tidak mudah. Diam yang selama ini menjadi
sahabat, kini berubah menjadi ruang bersama yang harus diisi dengan kehangatan
dan pengertian. Hirayama, dengan caranya yang tenang dan penuh welas asih,
berusaha membuat sang ponakan merasa nyaman. Ia tak banyak bicara, tapi
tindakannya penuh makna.
Sebaliknya, sang gadis juga perlahan mulai
memahami dunia pamannya—dunia yang terlihat sunyi, tapi ternyata penuh warna
jika dilihat dari dekat. Ia mulai melihat kebiasaan-kebiasaan kecil yang
ternyata menyimpan ketulusan. Ia belajar bahwa memilih hidup sederhana bukan
berarti hidup yang suram, tapi justru hidup yang telah berdamai.
Dua jiwa dari dua generasi itu akhirnya saling
memahami. Mereka tak saling menuntut untuk berubah, tapi saling membuka diri
untuk hadir—utuh dan tulus. Dalam waktu yang singkat, mereka mengukir kenangan
kecil, yang mungkin sederhana… tapi berharga.
Dan di sanalah, sekali lagi, kita belajar. Bahwa
menjadi produktif bukan hanya tentang menyelesaikan pekerjaan, tapi juga
tentang menjadi manusia—yang bisa merawat hubungan, memelihara rasa, dan hadir
bagi orang lain.
Lalu bagaimana kita—dalam hidup yang kadang riuh,
kadang kosong—bisa menemukan jalan menuju produktivitas yang utuh, tapi tetap
manusiawi?
Berikut tujuh kiat yang bisa menjadi teman dalam
perjalanan kita:
1. Mulai dengan niat yang jernih
Setiap hari adalah lembaran baru. Awali pagi
dengan menyebut nama-Nya, lalu tanyakan pada dirimu: apa satu hal baik yang
bisa kulakukan hari ini? Niat itu seperti kompas—ia tak membuatmu lebih
cepat, tapi menjagamu tetap ke arah yang benar.
2. Buat daftar, tapi jangan kejam pada
dirimu sendiri
To-do list penting, tapi jangan jadikan ia cambuk.
Cukup pilih 3 prioritas utama setiap hari. Jika hanya itu yang berhasil kamu
selesaikan, kamu sudah cukup baik. Ingat, kita ini manusia, bukan mesin
produksi.
3. Sisakan waktu untuk hening
Ada energi yang hanya bisa muncul dalam diam.
Sepotong waktu tanpa distraksi, bahkan hanya lima menit, bisa menjadi ruang
untuk menata ulang diri. Di sanalah ide tumbuh, dan hati bisa mendengar apa
yang benar-benar ia inginkan.
4. Lepaskan kebiasaan membandingkan diri
Produktif versi orang lain tidak harus jadi
standar kita. Ada yang produktif dengan banyak proyek, ada juga yang cukup
dengan menjaga anak dan menjaga kewarasan. Ukur produktivitas dengan rasa damai
dan makna, bukan jumlah pencapaian.
5. Rayakan
hal-hal kecil yang selesai
Setelah mencuci
piring, menyapu lantai, atau menulis satu paragraf... beri dirimu ucapan terima
kasih. Rayakan dengan senyum, atau
secangkir teh hangat. Kita sering lupa bahwa hidup terdiri dari hal-hal kecil
yang dikerjakan dengan cinta.
6. Isi waktu dengan hal yang bernilai,
bukan hanya yang padat
Banyak agenda tak selalu berarti produktif. Kadang
satu jam membaca buku, mendengar podcast bermakna, atau menelepon sahabat lama
bisa memberi dampak lebih daripada seharian rapat. Pilih isi, bukan hanya isi
jadwal.
7. Bangun rutinitas yang mengakar, bukan
mengikat
Rutinitas bisa jadi akar yang membuat kita stabil.
Seperti Hirayama yang menyiram tanamannya setiap pagi, temukan satu atau dua
kebiasaan yang ingin kamu pelihara. Bukan karena kamu harus, tapi karena kamu
ingin.
Akhirnya, menjadi pribadi yang produktif bukan
soal siapa yang paling sibuk atau paling terlihat hebat. Tapi tentang siapa
yang paling hadir dalam hidupnya. Yang bekerja dengan sepenuh hati. Yang
tahu kapan harus bergerak, dan kapan harus beristirahat.
Karena sesungguhnya… hidup bukan tentang berapa
banyak yang kita capai, tapi tentang bagaimana kita mengisinya dengan arti. []