7 Cara Belajar Produktif dari Film Jepang ’Perfect Day (2023)’ Secara Manusiawi


 Oleh: Siti Hajar

Dalam film Jepang Perfect Days karya Wim Wenders, kita diajak menyelami kehidupan Hirayama—seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai petugas kebersihan toilet umum di Tokyo. Ia bangun pagi setiap hari, menyiram tanaman kecil di jendela kamarnya, memutar kaset musik kesayangannya dalam mobil tua, lalu bekerja dengan sepenuh hati, membersihkan toilet satu per satu dengan ketelatenan yang nyaris seperti ibadah.

Tak ada target muluk. Tak ada ambisi yang gemuruh. Tapi justru dalam keteraturan yang sederhana itu, kita menyaksikan makna sejati dari hidup yang produktif. Bukan karena ia mengejar banyak hal, tapi karena ia hadir sepenuh jiwa dalam setiap hal yang ia lakukan.

Dari Hirayama, kita belajar bahwa produktivitas bukan soal kesibukan tanpa jeda, melainkan tentang mengerjakan sesuatu dengan sadar, dengan hati, dan dengan penghargaan terhadap waktu—bahkan terhadap hal-hal yang tampak sepele di mata orang kebanyakan.

Hingga suatu waktu, kehidupan sunyinya mendapat kunjungan tak terduga. Seorang gadis remaja—keponakannya sendiri—datang ke rumahnya. Ia datang karena tengah berselisih dengan sang ibu. Maka mulailah hari-hari yang berbeda bagi Hirayama, lelaki yang terbiasa menyendiri, yang menikmati sepeda dan langit Tokyo di akhir pekan, kini harus berbagi ruang dengan seseorang yang asing tapi juga bagian dari dirinya.

Tentu tidak mudah. Diam yang selama ini menjadi sahabat, kini berubah menjadi ruang bersama yang harus diisi dengan kehangatan dan pengertian. Hirayama, dengan caranya yang tenang dan penuh welas asih, berusaha membuat sang ponakan merasa nyaman. Ia tak banyak bicara, tapi tindakannya penuh makna.

Sebaliknya, sang gadis juga perlahan mulai memahami dunia pamannya—dunia yang terlihat sunyi, tapi ternyata penuh warna jika dilihat dari dekat. Ia mulai melihat kebiasaan-kebiasaan kecil yang ternyata menyimpan ketulusan. Ia belajar bahwa memilih hidup sederhana bukan berarti hidup yang suram, tapi justru hidup yang telah berdamai.

Dua jiwa dari dua generasi itu akhirnya saling memahami. Mereka tak saling menuntut untuk berubah, tapi saling membuka diri untuk hadir—utuh dan tulus. Dalam waktu yang singkat, mereka mengukir kenangan kecil, yang mungkin sederhana… tapi berharga.

Dan di sanalah, sekali lagi, kita belajar. Bahwa menjadi produktif bukan hanya tentang menyelesaikan pekerjaan, tapi juga tentang menjadi manusia—yang bisa merawat hubungan, memelihara rasa, dan hadir bagi orang lain.

Lalu bagaimana kita—dalam hidup yang kadang riuh, kadang kosong—bisa menemukan jalan menuju produktivitas yang utuh, tapi tetap manusiawi?

Berikut tujuh kiat yang bisa menjadi teman dalam perjalanan kita:

1. Mulai dengan niat yang jernih

Setiap hari adalah lembaran baru. Awali pagi dengan menyebut nama-Nya, lalu tanyakan pada dirimu: apa satu hal baik yang bisa kulakukan hari ini? Niat itu seperti kompas—ia tak membuatmu lebih cepat, tapi menjagamu tetap ke arah yang benar.

2. Buat daftar, tapi jangan kejam pada dirimu sendiri

To-do list penting, tapi jangan jadikan ia cambuk. Cukup pilih 3 prioritas utama setiap hari. Jika hanya itu yang berhasil kamu selesaikan, kamu sudah cukup baik. Ingat, kita ini manusia, bukan mesin produksi.

3. Sisakan waktu untuk hening

Ada energi yang hanya bisa muncul dalam diam. Sepotong waktu tanpa distraksi, bahkan hanya lima menit, bisa menjadi ruang untuk menata ulang diri. Di sanalah ide tumbuh, dan hati bisa mendengar apa yang benar-benar ia inginkan.

4. Lepaskan kebiasaan membandingkan diri

Produktif versi orang lain tidak harus jadi standar kita. Ada yang produktif dengan banyak proyek, ada juga yang cukup dengan menjaga anak dan menjaga kewarasan. Ukur produktivitas dengan rasa damai dan makna, bukan jumlah pencapaian.

5. Rayakan hal-hal kecil yang selesai

Setelah mencuci piring, menyapu lantai, atau menulis satu paragraf... beri dirimu ucapan terima kasih. Rayakan dengan senyum, atau secangkir teh hangat. Kita sering lupa bahwa hidup terdiri dari hal-hal kecil yang dikerjakan dengan cinta.

6. Isi waktu dengan hal yang bernilai, bukan hanya yang padat

Banyak agenda tak selalu berarti produktif. Kadang satu jam membaca buku, mendengar podcast bermakna, atau menelepon sahabat lama bisa memberi dampak lebih daripada seharian rapat. Pilih isi, bukan hanya isi jadwal.

7. Bangun rutinitas yang mengakar, bukan mengikat

Rutinitas bisa jadi akar yang membuat kita stabil. Seperti Hirayama yang menyiram tanamannya setiap pagi, temukan satu atau dua kebiasaan yang ingin kamu pelihara. Bukan karena kamu harus, tapi karena kamu ingin.

Akhirnya, menjadi pribadi yang produktif bukan soal siapa yang paling sibuk atau paling terlihat hebat. Tapi tentang siapa yang paling hadir dalam hidupnya. Yang bekerja dengan sepenuh hati. Yang tahu kapan harus bergerak, dan kapan harus beristirahat.

Karena sesungguhnya… hidup bukan tentang berapa banyak yang kita capai, tapi tentang bagaimana kita mengisinya dengan arti. []

Lebih baru Lebih lama