Resensi Buku Madre – Dee Lestari





Oleh: Siti Hajar 

Madre adalah kumpulan cerita pendek karya Dee Lestari yang berpusat pada kisah seorang laki-laki bernama Tansen, seorang pemuda yang hidup bebas di Bali, tiba-tiba mendapat pesan untuk datang ke Jakarta. Tanpa disangka, dia menerima warisan dari neneknya yang sudah lama tak dikenalnya—bukan berupa harta atau properti, melainkan Madre, biang roti yang telah dijaga turun-temurun.

Warisan ini membawanya masuk ke dunia yang asing: dunia roti dan toko roti legendaris milik keluarganya, Tan de Bakker. Awalnya, Tansen merasa ragu dan tak tertarik, tetapi pertemuannya dengan Mei, seorang pemilik toko roti, perlahan mengubah pandangannya. Dalam perjalanan ini, ia bukan hanya menemukan kembali jejak leluhurnya, tetapi juga makna keluarga, warisan, dan passion yang sebelumnya tak pernah ia sadari.

Dee Lestari menyajikan kisah ini dengan bahasa yang puitis dan filosofis, membuat pembaca terhanyut dalam perjalanan emosional Tansen. Tak hanya cerita utama Madre, buku ini juga memuat beberapa cerita pendek lain yang menggugah, menambah kedalaman makna tentang cinta, identitas, dan perjalanan menemukan diri sendiri.

Dalam perjalanannya menerima warisan yang tak terduga ini, Tansen bertemu dengan beberapa orang tua yang merupakan teman lama kakek dan neneknya. Mereka adalah saksi sejarah toko roti Tan de Bakker, tempat di mana Madre—biang roti warisan keluarga—dijaga selama bertahun-tahun. Salah satu sosok yang menonjol adalah Om Rudy, pria tua yang dulu menjadi tangan kanan kakeknya dalam menjalankan usaha roti. Ada juga Tante Giok, wanita berusia senja yang masih mengingat masa kejayaan toko roti tersebut dengan penuh nostalgia.

Orang-orang tua ini melihat kehadiran Tansen sebagai harapan baru bagi kelangsungan warisan keluarga. Namun, bagi Tansen, semua ini terasa terlalu berat dan jauh dari kehidupannya yang bebas di Bali. Ia bukan seorang pembuat roti. Ia bahkan tak tahu bagaimana cara menguleni adonan atau memahami fermentasi. Ia merasa seolah-olah dipaksa masuk ke dunia yang sama sekali asing baginya.

Tansen berulang kali menolak. Ia mencoba menghindar, mengabaikan bujukan Om Rudy dan Tante Giok. Ia tak ingin hidupnya yang santai berubah menjadi penuh tanggung jawab yang tidak ia minta. Namun, semakin ia menolak, semakin ia sadar bahwa ada sesuatu yang menarik dalam perjalanan ini. Madre bukan sekadar biang roti; ia adalah simbol warisan, cinta, dan perjalanan menemukan jati diri.

Tantangan ini menjadi ujian bagi Tansen. Apakah ia akan lari dari sesuatu yang tidak ia pahami, ataukah ia akan mencoba melangkah ke dunia baru yang mungkin bisa mengubahnya? Seiring waktu, ia mulai mencoba memahami nilai dari apa yang telah diwariskan kepadanya, dan perlahan, ia menemukan makna baru dalam hidupnya.

Melalui pergulatan batin yang berat, Tansen akhirnya menemukan titik temu antara identitas pribadinya dan warisan yang ditinggalkan oleh leluhur. Ia sadar bahwa menolak adalah bagian dari perlawanan terhadap ketakutan, tetapi menerima adalah langkah berani untuk menghargai dan melanjutkan kisah yang telah lama terukir dalam darah keluarga. Dengan demikian, setiap potongan cerita dari kakek-kakek nenek itu menjadi pijakan, menguatkan tekadnya untuk menjadikan setiap roti yang ia buat sebagai persembahan atas cinta dan pengorbanan yang tak lekang oleh waktu.

Bagi pecinta cerita yang ringan namun penuh makna, Madre adalah bacaan yang cocok untuk dinikmati sambil menyeruput secangkir kopi dan membiarkan aroma roti menghangatkan hati.

Kamu harus baca sendiri buku ini, dan nikmatilah. [] 

Lebih baru Lebih lama