Ramadhan Tempo Dulu - Persiapan Panjang, Makna yang Mendalam

 

Oleh: Siti Hajar

Waktu kecil aku masih ingat, di tahun-tahun 1980-an, Aku ingat bagaimana mamakku menyiapkan banyak hal untuk menyambut bulan Ramadhan.

Ramadhan bukan sekadar pergantian bulan dalam kalender Hijriyah, melainkan sebuah peristiwa besar yang dipersiapkan jauh-jauh hari. Tidak seperti sekarang, ketika segala kebutuhan bisa dibeli instan di pasar atau swalayan, dulu segalanya harus diolah sendiri, dari bahan mentah hingga siap saji. Persiapan menyambut Ramadhan bukan hanya urusan dapur, tapi juga soal kehidupan, kebersamaan, dan makna ketulusan yang tertanam dalam tradisi masyarakat.

Menyangrai, Menampi, dan Menjaga Tradisi Kuliner

Di tanah Pidie, yang terkenal sebagai daerah penghasil Aneuk Mulieng terbesar di Aceh, ibu-ibu sudah mulai menyiapkan stok tepung jauh sebelum bulan puasa tiba. Prosesnya panjang: mencuci beras hingga bersih, menumbuk tepung menggunakan jeungki dilakukan secara bersama-sama dan bergantian.

Selanjutnya menjemur tepung di bawah terik matahari sampai benar-benar kering. Kemudiannya menyimpannya dalam guci dari keramik.

Tak hanya tepung, bumbu masakan juga disiapkan lebih awal. Ketumbar, kunyit, dan cabai dikeringkan lalu dihaluskan menjadi bubuk agar lebih awet. Para ibu sadar, selama Ramadhan, mereka tidak bisa terlalu lama berurusan di dapur saat siang hari, sehingga stok bumbu bubuk ini menjadi solusi praktis yang telah diwariskan turun-temurun.

Ibuku juga menggoseng biji kopi dengan cara tradisional. Di rumah-rumah, aroma kopi sangrai bercampur dengan asap kayu bakar menguar ke udara, menciptakan suasana khas menjelang Ramadhan. Biji kopi ini kemudian ditumbuk dan disimpan sebagai persediaan, karena di bulan puasa, secangkir kopi menjadi teman berbuka yang tidak tergantikan.

Di beberapa rumah, orang-orang juga membuat emping melinjo. Melinjo yang baru dikutip dari pohon yang jatuh, disangrai, dikupas kulitnya dan ditumbuk satu per satu hingga pipih sebelum dijemur sampai kering.

Pekerjaan ini sering dilakukan bersama-sama, sambil berbincang dan bercanda—momen kebersamaan yang kini mulai langka di era modern.

Kayu Bakar, Gula Merah, dan Beras: Stok Kehidupan Sehari-hari

Dulu, memasak masih mengandalkan kayu bakar. Karena itu, menjelang Ramadhan. Seluruh anggota keluarga membantu mengumpulkan dan menyusun kayu bakar agar cukup untuk sebulan penuh. Kayu ini dikeringkan dan disusun rapi di dapur, siap digunakan untuk memasak hidangan sahur dan berbuka.

Sementara itu, bahan pangan pokok seperti gula merah, garam, dan beras juga disiapkan dengan teliti. Gula merah yang didapat dari pohon aren diolah menjadi batangan dan disimpan dalam wadah rapat agar tidak lembap. Garam, yang sangat penting dalam masakan, juga harus cukup untuk sebulan. Sedangkan beras, sebelum disimpan, harus ditampi lebih dulu, dipisahkan dari gabah dan kotoran, lalu dimasukkan ke dalam  guci beras dan ditempatkan di tempat yang kering agar tidak berkutu.

Di sini terlihat betapa masyarakat dulu punya strategi dalam mengatur logistik rumah tangga. Mereka tidak sekadar membeli dan menyimpan, tetapi juga menjaga kualitas bahan makanan dengan cara alami.

Memperbaiki Tempat tidur dan Menjahit Sprei

Ada satu kebiasaan menarik yang mungkin jarang ditemukan di era modern: menjahit sprei baru menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Bagi banyak keluarga, tempat tidur harus terlihat rapi dan nyaman, sebagai simbol penyambutan bulan suci dengan hati yang bersih. Para ibu dengan keterampilan menjahit akan membuat sprei dan sarung bantal baru dari kain yang dibeli di pasar, sering kali bermotif bunga atau pola klasik yang khas.

Tak hanya itu, rumah-rumah juga dirapikan. Lantai disapu hingga bersih, perabotan kayu dilap dengan minyak kelapa agar berkilau, dan tirai jendela dicuci serta diganti dengan yang baru. Semua ini bukan sekadar estetika, tetapi bagian dari persiapan spiritual—sebuah simbol bahwa menyambut Ramadhan berarti membersihkan tidak hanya tubuh, tetapi juga lingkungan dan hati.

Ramadhan yang Dulu dan Sekarang

Melihat kembali semua ini, saya sadar bahwa persiapan Ramadhan dulu bukan hanya tentang ketersediaan makanan, tetapi juga tentang bagaimana sebuah keluarga dan komunitas menyambut bulan suci dengan penuh kesungguhan. Ada nilai kerja keras, kebersamaan, dan rasa syukur yang tertanam dalam setiap langkah persiapan.

 Kini, banyak dari tradisi ini yang mulai luntur, tergantikan oleh kemudahan modern. Kita tidak lagi perlu menyangrai kopi sendiri, membuat tepung dari nol, atau menimbun kayu bakar. Tapi, ada satu hal yang sebaiknya tetap kita jaga: esensi dari semua persiapan ini—menyambut Ramadhan dengan hati yang bersih, penuh kesungguhan, dan kebersamaan dengan keluarga serta masyarakat.

Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak stok makanan yang kita punya yang menentukan makna Ramadhan, tetapi seberapa siap kita menjalani bulan suci ini dengan hati yang lapang dan penuh keikhlasan. []


Lebih baru Lebih lama