Oleh: Siti Hajar
Dulu, bagi banyak ibu dan gadis
muda, merajut dan menyulam bukan sekadar keterampilan tangan, melainkan bagian
dari perjalanan hidup. Seni ini diajarkan turun-temurun sebagai bentuk
persiapan menuju kehidupan rumah tangga, terutama bagi mereka yang akan menikah.
Ibu-ibu zaman dahulu sering menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyulam
sprei atau merajut alas meja, yang nantinya akan digunakan di kamar
pengantinnya sendiri. Setiap benang yang dirajut dan setiap motif yang disulam
bukan hanya menunjukkan keterampilan, tetapi juga mencerminkan kesabaran,
ketekunan, dan cinta dalam setiap jahitan.
Belajar dengan Kesabaran,
Berkarya dengan KetekunanBagi mereka yang belajar merajut dan menyulam,
prosesnya tidaklah instan. Butuh waktu dan latihan panjang sebelum tangan
terbiasa dengan gerakan jarum dan benang. Tidak jarang mereka mengalami
kesalahan dalam pola atau simpul yang kurang rapi, namun mereka tidak menyerah
begitu saja. Dengan bimbingan ibu atau nenek, mereka terus mencoba hingga
akhirnya mampu menghasilkan karya yang indah dan rapi.
Menyulam sprei berukuran besar,
misalnya, adalah tantangan tersendiri. Dibutuhkan ketelitian tinggi agar motif
tetap simetris dan benang tidak kusut. Namun, orang-orang zaman dahulu percaya
bahwa kerja keras mereka akan terbayar saat melihat hasil akhirnya—sebuah kain
indah yang tidak hanya berguna tetapi juga penuh makna sentimental.
Dari Simbol Keterampilan ke
Sekadar HobiDi masa lalu, memiliki keterampilan merajut atau menyulam menjadi
kebanggaan tersendiri bagi seorang perempuan. Hasil karyanya sering dijadikan
bagian dari seserahan pernikahan atau hadiah istimewa untuk keluarga. Setiap
sulaman dan rajutan memiliki cerita dan emosi yang menyertainya. Namun, seiring
berjalannya waktu, keterampilan ini mulai ditinggalkan.
Saat ini, anak-anak muda tidak
lagi tertarik untuk belajar merajut atau menyulam. Salah satu alasannya adalah
kemudahan dalam mendapatkan barang-barang rajutan dan sulaman dengan harga
murah di pasaran. Pabrik-pabrik tekstil mampu memproduksi taplak meja, sprei,
dan selimut rajut dalam jumlah besar dengan harga terjangkau. Akibatnya, banyak
yang merasa tidak perlu lagi meluangkan waktu untuk membuatnya sendiri.
Menjaga Warisan, Menghidupkan
Kembali TradisiMeskipun sudah banyak yang beralih ke produk pabrikan, bukan
berarti keterampilan merajut dan menyulam harus hilang begitu saja. Saat ini,
beberapa komunitas masih aktif mengajarkan seni ini kepada generasi muda, baik
sebagai hobi maupun usaha kreatif. Produk-produk handmade memiliki nilai lebih
karena dibuat dengan penuh ketelitian dan cinta, yang tidak bisa digantikan
oleh barang produksi massal.
Merajut dan menyulam adalah
bentuk seni yang mengajarkan kesabaran dan ketekunan. Dengan memahami sejarah
dan nilai di balik keterampilan ini, kita bisa menghargai lebih dalam setiap
jahitan dan simpul yang dibuat. Mungkin, di tengah dunia yang semakin serba
instan, ada baiknya kita kembali menghargai proses dan usaha dalam menciptakan
sesuatu yang memiliki makna mendalam.
Sampai saat ini, aku masih
memiliki beberapa rajutan dan sulaman ibuku. Setiap kali melihat atau
menyentuhnya, ada rasa haru dan bangga, seolah-olah aku masih bisa merasakan
ketekunan dan kasih sayang yang beliau curahkan dalam setiap benang yang
terjalin.[]