Oleh: Siti Hajar
Dulu, orang tua
mendidik anak dengan keras dan tegas. Disiplin ketat, hukuman sebagai
konsekuensi, serta harapan tinggi adalah hal yang biasa. Anak-anak terbiasa
menghadapi tekanan, menyelesaikan masalah sendiri, dan mengembangkan daya tahan
mental yang kuat.
Namun, zaman
telah berubah. Pola asuh modern lebih banyak menekankan kelembutan, negosiasi,
dan kenyamanan anak. Alih-alih hukuman fisik atau teguran keras, kini
pendekatan pengasuhan lebih banyak menggunakan komunikasi terbuka dan psikologi
positif.
Namun, perubahan
ini memunculkan pertanyaan besar: apakah pola asuh yang lebih lunak benar-benar
membawa dampak positif? Atau justru melahirkan generasi yang lemah dan tidak
tahan tekanan? Istilah "generasi stroberi" muncul untuk menggambarkan
anak-anak yang tampak menarik dan berbakat, tetapi mudah hancur ketika
menghadapi tekanan. Mereka sulit menerima kritik, mudah menyerah, dan kurang
mandiri.
Pola Asuh
Dulu vs. Sekarang.
Pola asuh keras
di masa lalu menanamkan disiplin dan ketahanan sejak dini. Anak-anak belajar
menghadapi kegagalan dan tidak mudah menyerah. Mereka terbiasa dengan batasan
yang jelas, tanggung jawab yang besar, dan hukuman sebagai konsekuensi atas
kesalahan.
Sementara itu,
pola asuh modern lebih menitikberatkan pada kebebasan berekspresi, minim
tekanan, dan sering kali menghindari konfrontasi.
Namun, perbedaan
ini bukan hanya soal cara mendidik. Ada faktor lain yang turut mempengaruhi,
terutama perkembangan teknologi. Dulu, anak-anak lebih banyak bermain di luar,
bersosialisasi dengan teman sebaya, dan mengalami tantangan nyata.
Kini, banyak
anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai, terpapar dunia digital sejak
kecil, dan kurang menghadapi tantangan dunia nyata.
Dampak
Teknologi dan Kecanduan Digital.
Salah satu
faktor terbesar yang membedakan generasi sekarang dengan generasi sebelumnya
adalah akses terhadap teknologi. Anak-anak sekarang hidup dalam era digital, di
mana segala sesuatu bisa didapatkan dengan cepat dan mudah. Kemudahan ini
membuat banyak anak kehilangan ketahanan mental. Mereka tidak terbiasa
menghadapi kesulitan karena segalanya bisa diakses dengan sekali klik.
Selain itu,
kecanduan gadget membuat anak lebih sulit diajak berkomunikasi secara langsung.
Banyak orang tua yang kehilangan kendali atas anak mereka karena gawai menjadi
lebih menarik daripada interaksi nyata.
Anak-anak lebih
sering mencari hiburan di dunia digital daripada menghadapi realitas.
Akibatnya, ketika harus berhadapan dengan masalah atau tekanan, mereka lebih
cenderung melarikan diri daripada mencari solusi.
Mencari
Keseimbangan
Bukan berarti
didikan keras adalah satu-satunya cara untuk menghasilkan anak yang sukses,
begitu pula kelembutan tidak selalu menghasilkan anak yang lemah. Yang
dibutuhkan adalah keseimbangan.
Orang tua harus
tegas dalam menanamkan disiplin, tetapi tetap memberikan ruang bagi anak untuk
berkembang. Penggunaan teknologi juga perlu diawasi dan dikendalikan agar tidak
menghilangkan kemampuan anak untuk beradaptasi dengan dunia nyata.
Generasi yang
kuat bukan hanya dibentuk oleh tekanan, tetapi juga oleh bimbingan yang tepat.
Orang tua perlu berperan aktif dalam mendampingi anak, memberikan tantangan
yang sesuai, dan mengajarkan mereka bagaimana menghadapi kesulitan dengan
bijaksana.
Dengan
keseimbangan ini, anak-anak dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya
cerdas dan berbakat, tetapi juga tangguh dan siap menghadapi dunia nyata. Ini
tentu tidak mudah, tetapi dengan role yang jelas, dan terarah, yakinlah semua
akan berjalan dengan baik sesuai dengan harapan baik orang tua. []