You Have Be Mine
By. Siti Hajar
Siti
Balqis yang dikhianati kekasihnya--Nyak Leman. Mereka menghabiskan masa kecil
bersama. Tumbuh dan berkembang bersama. Rumah mereka yang berdekatan membuat
mereka selalu bermain bersama. Hal yang paling indah saat hujan turun, mereka
berbasah-basahan bersama teman-teman yang lain. Hal ini berlanjut sampai mereka
sekolah SMP. Sekolah mereka terletak di Ibukota kecamatan yang berjarak sekitar
5 km. Mereka tetap berjalan bersama setiap hari, kadang mereka menggunakan
kenderaan umum, tidak jarang mereka menggunakan sepeda.
Suka dan duka Balqis dan Leman jalani bersama.
Mereka sering bercerita tentang cita-cita saat sudah besar nanti. Leman ingin
sekali memiliki usaha bengkel melanjutkan pekerjaannya ayahnya. Sementara
Balqis hanya bercita-cita menjadi guru sekolah dasar di kampung mereka.
Nasib baik, Allah berikan kepada Nyak Leman.
Dia berkesempatan melanjutkan kuliah di kota Banda Aceh. Sementara Balqis
karena orang tuanya kurang mampu dia menempuh kuliah S1-nya di kampung. Kampus
biasa dengan SPP yang juga ringan. Dengan berkuliah di kampung Balqis dapat
membantu orangtuanya ke sawah dan membuat kue jajanan yang titip di
warung-warung.
Sebelum
berangkat merantau Leman berjanji kepada Balqis jika suatu saat dia sukses dia
akan meminang Balqis untuk menjadi istrinya. Laki-laki dengan paras atmpan itu
pun juga meminta Balqis untuk sabar menunggunya.
"Balqis,
setialah dengan saya, jangan tergoda dengan laki-laki lain. Simpan hati dan
cintamu untuk saya saja." Leman memohon kepada Balqis pada suatu hari saat
mereka menghabiskan senja mereka di tepi pantai. Balqis pun mengangguk. Dalam
hati Balqis benar-benar berjanji hanya nama Leman yang terukir di hatinya.
Balqis kemudian membalas kata-kata Leman.
"Abang
juga, semangatlah kuliah di kota. Di sana pasti banyak perempuan yang jauh
lebih cantik dari saya. Semoga Abang ingat dengan janji kita. Apa pun yang
terjadi kembalilah ke kampung, jemput saya, jadikan saya istrimu. Saya berharap
bahagia bersama Abang.”
Waktu terus berlanjut, hingga bertahun kemudian.
Leman telah selasai menjalankan misi hidupnya mencapai gelar sarjana. Itu
adalah cita-citanya sebagai seorang sarjana teknik mesin yang akan meneruskan
usaha ayahnya.
Namun,
ada kejanggalan yang dirasakan Balqis. Kebetulan ibunya Balqis mendapatkan
berita dari anak temannya di kampung sebelah, bahwa mereka sama-sama Wisuda dua
bulan yang lalu.
Seharusnya
Leman mengabarkan sendiri berita itu. Biasanya Leman rajin mengirim surat
kepada Balqis. Gadis itupun mulai menaruh curiga kepada Leman. Jangan-jangan Leman
sudah melupakannya dan sudah ada wanita lain di hatinya.
Hingga
suatu hari kecurigaannya terbukti. Keluarga Leman menerima serombongan tamu
dari kota. Dari balik jendela Dia mengintip dan melihat Leman tersenyum bahagia
kepada seorang gadis yang menggunakan kerudung merah jambu. Gadis cantik itu
terlihat malu-malu kepada ayah dan ibunya Nyak Leman.
Hati Balqis bagai
teriris sembilu. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan. Dia
terisak dan berusaha menghapus airmatanya. Menangis di balik bantal tanpa bisa
mengadu kepada siapa-siapa.
Ibunya
Balqis yang menyadari kegundahan yang dialami gadisnya mendekati dan mencoba
menasehati putri kesayangnnya. "Jodoh itu sudah Allah yang atur. Allah
akan memberikan yang terbaik untuk hambanya.Terus berupaya memperbaiki diri,
Insyaallah perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik”
"Balqis
sangat mencintai Leman, Bu," Isak Balqis dengan terbata-bata.
Balqis
memegang jantungnya yang berdetak tidak seperti biasanya.
"Iya,
Nak, Ibu paham, sangat paham apa yang kamu rasakan, anakku. Percaya sama
Allah." Ayo bantu ibu parut ubi. Ibu mau buat bolu pesanan Bu
Keuchik."
Tanpa
membantah, Balqis menghapus airmatanya, dan menuju kamar mandi untuk mencuci
muka. Dia berusaha menghilangkan mukanya yang sembab.
Balqis
dan Nyak Leman saling bertatapan di warung Bu Jannah. Mata Balqis yang biasanya
penuh kelembutan kini terlihat tajam dan dingin. Leman, di sisi lain, tampak
gelisah. Ia tidak menyangka akan bertemu Balqis dalam situasi seperti ini.
"Oh,
ada Balqis," sapa Leman canggung, mencoba tersenyum meski jelas raut
mukanya menyiratkan rasa bersalah. ”Apakabar?”
"Baik,
sahut Balqis ketus. "Oh iya, selamat ya udah wisuda."
Leman
terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam nada suara Balqis yang membuatnya merasa
kecil. Seharusnya ia memberitahu sendiri kabar itu, bukan malah mendiamkan
gadis yang telah menunggunya selama bertahun-tahun.
"Makasih,
Balqis," jawab Leman pelan, menunduk.
"Kamu
sibuk sekali ya, sampai lupa ngabarin? Aku sampai harus dengar dari orang
lain," lanjut Balqis dengan nada menyindir.
Leman
menghela napas panjang. "Balqis, aku bisa jelasin."
"Jelaskan?
Apa yang mau kamu jelaskan? Bahwa kamu sekarang punya perempuan lain? Bahwa
semua janji yang kamu buat dulu hanya sekadar angin lalu?" Suara Balqis
mulai meninggi, membuat beberapa orang di warung melirik ke arah mereka.
Leman
terlihat semakin tidak nyaman. Ia menggigit bibirnya, bingung harus berkata
apa. Dalam hatinya, ia sadar bahwa ia telah membuat kesalahan besar. Tapi di
sisi lain, ia juga tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaannya terhadap
gadis dari kota yang baru dikenalnya.
"Aku
nggak bermaksud mengkhianati kamu, Balqis. Aku... aku juga bingung. Aku nggak
tahu harus bagaimana."
"Bingung?"
Balqis mendengus sinis. "Aku nggak butuh kebingunganmu, Leman. Aku butuh
kepastian! Kamu yang memintaku menunggu. Kamu yang meyakinkanku bahwa aku
adalah satu-satunya untukmu! Lalu sekarang? Kamu berdiri di sini, bilang kamu
bingung?"
Leman
menunduk, tidak mampu menatap mata Balqis yang kini mulai basah oleh air mata
yang tertahan. Hatinya sakit melihat Balqis seperti ini, tapi hatinya juga
bimbang karena gadis lain itu juga telah mengisi sebagian hatinya.
"Balqis,
aku... aku nggak bisa memilih sekarang," kata Leman lirih.
Balqis
terperangah, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kamu
nggak bisa memilih?" ulangnya dengan suara bergetar. "Kamu pikir ini
permainan, Leman? Kamu pikir aku ini apa? Cadangan kalau pilihan pertamamu
gagal?"
Leman
terdiam, semakin tertunduk dalam rasa bersalah.
"Baik,
Leman," suara Balqis kini bergetar marah. "Kalau kamu nggak bisa
memilih, biar aku saja yang memilih. Aku nggak mau jadi pilihan kedua siapa
pun. Terima kasih untuk kenangan yang sudah kita lalui. Aku harap kamu bahagia
dengan hidupmu."
Balqis
berbalik pergi, meninggalkan Leman yang masih terpaku di tempatnya. Hatinya
hancur, tetapi ia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan. Ia menahan air
matanya sampai benar-benar keluar dari warung itu.
Leman
hanya bisa menatap punggung Balqis yang menjauh, menyadari bahwa kali ini
mungkin ia telah kehilangan seseorang yang benar-benar mencintainya.
BERSAMBUNG