Oleh: Siti Hajar
Pujian sering
kali menjadi salah satu kebutuhan psikologis yang paling mendasar bagi manusia.
Sejak kecil, kita terbiasa mendengar kata-kata positif dari orang tua atau guru
saat berhasil melakukan sesuatu, entah itu merangkak, menggambar, atau
menyelesaikan tugas sekolah. Kebiasaan ini tidak serta-merta hilang seiring
bertambahnya usia. Justru, kebutuhan akan pengakuan dan apresiasi terus melekat
sebagai bentuk validasi bahwa keberadaan, usaha, atau pencapaian kita diakui
oleh orang lain. Tanpa pujian, seseorang bisa merasa diabaikan, tidak dihargai,
atau bahkan kehilangan motivasi untuk berkembang.
Secara
psikologis, pujian berperan sebagai cermin yang memantulkan nilai diri
seseorang. Ketika seseorang dipuji, ia merasa bahwa dirinya memiliki arti dalam
lingkup sosial. Hal ini berkaitan erat dengan konsep harga diri
(*self-esteem*). Saat orang lain mengakui kelebihan atau kerja keras kita,
secara tidak langsung hal itu memperkuat keyakinan bahwa kita layak untuk
dihargai. Dalam situasi tertentu, pujian bahkan bisa menjadi penopang emosional
ketika seseorang sedang ragu atau terjebak dalam perasaan inferior.
Tidak hanya
berdampak pada individu, pujian juga menjadi alat pemersatu dalam hubungan
antarmanusia. Memberikan pujian yang tulus, misalnya, dapat mempererat ikatan
emosional antara dua orang. Bayangkan seorang sahabat yang selalu menghargai
usaha Anda atau pasangan yang kerap mengungkapkan kekaguman atas hal-hal kecil
yang Anda lakukan. Pujian seperti itu menciptakan rasa aman dan kepercayaan,
karena menunjukkan bahwa seseorang memperhatikan dan peduli. Dalam dinamika
kelompok, pujian juga bisa meningkatkan solidaritas, seperti ketika tim kerja
saling mendukung lewat kata-kata positif untuk mencapai tujuan
bersama.
Di sisi lain,
kebutuhan akan pujian juga dipengaruhi oleh cara manusia memandang
keberhasilan. Dalam masyarakat yang kompetitif, pencapaian kerap diukur melalui
pengakuan eksternal. Seorang pelukis mungkin merasa karyanya belum lengkap
sebelum dipuji oleh penikmat seni, atau seorang karyawan merasa usahanya
sia-sia tanpa apresiasi atasan. Fenomena ini menggambarkan betapa pujian telah
menjadi "mata uang" sosial yang mengonfirmasi bahwa upaya kita
bermakna. Tanpanya, banyak orang merasa seperti berjalan di tempat, meski
sebenarnya telah melangkah jauh.
Namun, ada
alasan lebih dalam mengapa pujian begitu penting: ia memenuhi kebutuhan akan
keberlanjutan motivasi. Penelitian dalam ilmu psikologi menunjukkan bahwa
pujian dapat memicu pelepasan dopamin, hormon yang berkaitan dengan rasa senang
dan semangat. Saat seseorang menerima pujian, otak meresponsnya sebagai hadiah,
sehingga mendorongnya untuk mengulangi perilaku yang dianggap baik atau
produktif. Inilah mengapa anak-anak yang sering dipuji cenderung lebih
bersemangat belajar, atau pegawai yang dihargai atas kinerjanya menjadi lebih
loyal pada pekerjaan.
Tidak bisa
dipungkiri, budaya juga memengaruhi seberapa besar seseorang bergantung pada
pujian. Di masyarakat dengan nilai kolektivisme tinggi, seperti di Asia, pujian
sering kali menjadi cara untuk menjaga harmoni dan menghindari konflik.
Sementara di budaya individualis, pujian mungkin lebih bersifat personal,
sebagai bentuk pengakuan terhadap keunikan individu. Meski demikian, di mana
pun, pujian tetap menjadi bahasa universal yang mudah dipahami—sebab siapa pun,
dari latar belakang mana pun, ingin merasa berarti.
Lalu, bagaimana
dengan mereka yang mengklaim tidak membutuhkan pujian? Sesungguhnya,
ketidaktergantungan pada pujian bisa saja muncul karena seseorang telah
memiliki konsep diri yang kuat atau terbiasa memvalidasi diri sendiri. Namun,
secara alami, manusia tetaplah makhluk sosial yang terhubung dengan
lingkungannya. Pujian, dalam kadar sewajarnya, membantu menjaga keseimbangan
antara keyakinan internal dan pengakuan eksternal. Ia seperti oksigen yang
membuat api motivasi tetap menyala, tanpa harus membakar diri.
Pada akhirnya, kebutuhan akan pujian adalah cermin dari hasrat manusia untuk terhubung, diakui, dan berkembang. Selama diberikan secara tulus dan proporsional, pujian bukan sekadar basa-basi, melainkan nutrisi bagi jiwa yang mendorong seseorang untuk menjadi lebih baik. Dalam dunia yang kerap dipenuhi kritik dan tekanan, kata-kata positif layaknya air segar—menyegarkan, menguatkan, dan mengingatkan kita bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, patut dirayakan.[]