Oleh: Siti Hajar
Alkisah, seorang perempuan bernama Ummi Kalsum duduk di bawah pohon kenanga yang rimbun di pekarangan rumahnya. Sinar matahari petang menerobos di antara dedaunan, menciptakan bayangan lembut di wajahnya yang penuh kerinduan. Sejak suaminya pergi merantau tujuh belas tahun yang lalu, ia telah menunggu dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Dahulu,
suaminya—Bang Abu—pergi dengan harapan pulang membawa pundi-pundi yang dapat
mengubah nasib. Namun, hingga anak mereka-Nyak Gadeng, tumbuh besar Bang Abu tak pernah pulang. Ummi
Kalsum membesarkan anaknya seorang diri dengan penuh kesabaran dan kasih
sayang.
Kini, sejarah
tampaknya terulang kembali.
"Mak, aku
akan pergi merantau. Doakan anakmu ini sehat selalu dan dimudahkan rezekinya.
Aku ingin membahagiakan Mamak." Nyak Gadeng terisak. Anak muda ini
berpamitan kepada ibunya. Orang tua satu-satunya yang dia kenalnya. Ayahnya
berangkat dari rumah sejak dia masih dalam kandungan.
Sementara sang
ibu--Ummi Kalsum, dengan air mata yang
mengalir deras, isakannya melebihi anaknya. Dia menepuk punggung seraya
mengusap kepala anaknya dengan pelan.
Sebenarnya dia
sudah melarang keinginan anaknya pergi merantau, tetapi anak muda ini terus
mendesak. Usianya yang sudah dewasa sudah selayaknya pergi merantau ke negeri
orang. Siapa tahu kalau rezeki nanti dia akan punya uang dan dapat menikahi
gadis yang didambanya.
Nyak Gadeng
menuruni tangga rumahnya. Selain untuk mencari uang, pemuda ini juga berharap
bisa bertemu ayahnya. Rindu yang tak pernah usai. Untuk terakhir kali, ia
berpaling dan melambaikan tangan kepada mamaknya yang masih duduk di ujung
tangga, matanya tak lepas mengiringi kepergiannya.
Hati Nyak Gadeng
semakin sesak. Namun, ia menguatkan diri untuk terus melangkah dan berjanji
akan segera kembali.
Kering sudah air
mata Ummi Kalsum. Perempuan itu berusaha tegar menghadapi kenyataan yang harus
dijalaninya. Dua laki-laki yang ada dalam hidupnya, keduanya kini telah pergi.
Hanya mampu berharap kepada Sang Ilahi Rabbi. Semoga Allah menjaga keduanya dan
segera mengembalikan mereka ke pangkuannya.
Merantau adalah
pergi ke tempat lain untuk mencari nafkah atau kehidupan yang lebih layak, atau
dengan tujuan menuntut ilmu agama. Merantau juga merupakan tradisi berbagai
suku di Indonesia, termasuk di Aceh.
Suku Aceh yang
dikenal sebagai perantau adalah orang Pidie. Tradisi ini dilakukan secara
turun-temurun. Walau tidak seramai dulu, banyak orang Pidie yang memutuskan
untuk merantau, baik ke Medan, Jakarta, Malaysia, hingga ke Timur Tengah,
Amerika, dan Benua Eropa.
Saban hari, mata
Ummi Kalsum terpaku pada jalan berbatu di depan rumahnya. Hatinya selalu
bergetar. Akankah sejarah berulang? Akankah anaknya juga pergi dan tak kembali?
Hari-hari berlalu
dengan doa dan harapan. Hingga pada suatu pagi, kabar yang tak diduga datang.
Bang Abu—suami Ummi Kalsum akhirnya kembali. Berita itu menyebar cepat di desa
kecil mereka. Ummi Kalsum tak percaya, hatinya campur aduk antara harapan dan
ketakutan.
Ketika pintu
rumah terbuka, Ummi Kalsum melihat sosok yang telah lama menghilang. Wajah Bang
Abu mulai berkeriput, tetapi tatapan matanya masih sama. Tanpa ragu, Bang Abu
menggenggam tangan istrinya dengan erat. Air mata haru mengalir di wajah
mereka. Ummi Kalsum memeluk erat suaminya, mengisi rindu yang telah lama
terpendam, tersirat bahwa ia tak ingin lagi ditinggalkan.
Malam itu,
keluarga kecil mereka duduk bersama di bawah cahaya bulan. Bang Abu
menceritakan segala perjuangan yang ia lalui di negeri jauh, bagaimana rindu
selalu menemani setiap langkahnya. Kini, ia berjanji untuk tidak pergi lagi.
Bersama Ummi Kalsum, ia ingin menjalani hari tua dengan damai.
Namun,
kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Beberapa tahun setelah Bang Abu kembali,
kini giliran Nyak Gadeng yang tak kunjung memberi kabar. Awalnya, mereka yakin
Nyak Gadeng akan pulang seperti ayahnya. Namun, waktu terus berlalu, tahun demi
tahun berganti, dan Nyak Gadeng tetap tak kembali.
Bang Abu mencoba
menguatkan hati istrinya. "Mungkin Nyak Gadeng sedang dalam perjuangannya,
seperti aku dulu. Doakan saja yang terbaik, Mi."
Namun, hati
seorang ibu selalu penuh kecemasan. Rindu yang tak terbendung kini kembali
bersarang di hatinya. Meski Bang Abu telah kembali, kini anak mereka yang pergi
tanpa jejak.
Tubuh Ummi Kalsum
semakin kurus. Apa yang dimakannya tidak lagi menjadi daging. Malam-malamnya
terasa semakin panjang. Rindu kepada ananda tercinta tak terbendung.
Hari-hari berlalu
dalam penantian yang semakin menguras kesabaran. Suatu hari, seorang tetangga
datang membawa sepucuk surat. Surat itu dari Nyak Gadeng. Dengan tangan
gemetar, Ummi Kalsum membukanya.
"Mak,
Ayah, maafkan aku. Aku belum bisa pulang, saat ini sedang berusaha mewujudkan
impianku agar bisa membawa kebahagiaan untuk kita semua. Doakan aku selalu
sehat dan sukses. Aku sangat rindu kalian. Aku senang Mak dan Ayah sudah
berkumpul kembali. Aku sayang kalian.”
Surat yang singkat
itu dibacanya berulang-ulang. Air mata Ummi Kalsum menetes, perasaan lega
bercampur rindu mengalir dalam hatinya. Setidaknya, ia tahu anaknya masih ada,
masih mengingatnya. Meski belum bisa bertemu, ia akan terus menunggu di bawah
pohon bunga kenanga, berharap suatu hari Nyak Gadeng benar-benar pulang.
Perasaan bahagia
itu dibagikan Ummi Kalsum dengan suaminya. Bang Abu sejatinya lebih bahagia
mendengar kabar tentang Nyak Gadeng. Namun, laki-laki tidaklah mudah
mengeluarkan air mata, gambaran suasana hati susah maupun senang tetap
dipendamnya.
Mereka kemudian
sama-sama berdoa agar hanya kematianlah yang memisahkannya dari orang yang dikasihi,
bukan jarak dan waktu yang tak pasti.[]