Mimpi yang Terus Saja Menjadi Mimpi

 


Oleh: Siti Hajar

 
Adakalanya mimpi-mimpi dalam hidup kita berlalu dan terus menjadi mimpi. Sementara ada hal lain  yang tidak kita duga terjadi dalam hidup kita, datang dengan sendirinya tanpa diharap dan tanpa diduga.

Siapa kita yang dapat memaksa mimpi menjadi kenyataan. Cita-cita kita, keinginan kita, kemauan orang tua kita, harapan keluarga kita bahkan kehendak orang sekampung kita kerap pupus begitu saja. Andil Allah sang maha pencipta menempati porsi yang paling besar terhadap doa dan cita-cita.. Dialah sang pemilik semesta beserta isinya penentu segalanya. Allah adalah planner terbaik

Menjadi  peternak  adalah  cita-citaku setelah  tamat  kuliah. Bukan  tak  berdasar  kemudian jurusan peternakan  adalah  tempatku  tersesat untuk menuntut ilmu, setelah dua pilihan lain tidak lolos. Saat itu aku merasa tidak seberuntung si kakak-kembaranku lulus di pilihan pertamanya-Teknik Kimia. Keberuntungannya membuatku iri. Kuliah di fakultas favorit saat itu.

 

Cok peternakan saboh,”(bahasa Aceh: Ambil jurusan peternakan satu) kata  Mamak  saat mengisi lembar formulir Ujian SNMPTN. Dulu masih manual belum mendaftar secara online seperti sekarang. 

Peternakan ini bukanlah pilihan pertama. Tidak juga yang kedua. Namun pilihan yang ketiga saudara-saudara. Asli jika saat itu aku tidak memilih peternakan, praktis aku tidak melanjutkan sekolah setamat SMA tidak juga menjadi sarjana seperti sekarang.

Peternakan juga bukan pilihanku, tetapi pilihan mamakku.

Entah  apa  yang  diharapkan  mamak  saat  setengah berguyon ikut  andil  dalam pilihan  jurusan  bakal kuliahku saat itu. Sangat mungkin karena mamak sendiri adalah peternak rumahan.

Diakui  atau  tidak  Bapak  yang  seorang  guru dengan gaji pas-pasan sangat  terbantu atas  kerja  sambilan  ibuku  yang  memelihara  bebek  dan  ayam. Kebutuhan  kami  sekeluarga  dengan  10  nyawa di dalamnya, alhamdulillah nutrisi kami sekeluarga terpenuhi.

Bukan  cerita  bohong  saat mamak  rajin  mengurus  ayam  dan bebeknya, aku  sering  melihat  Mamak  didatangi  Bapak Tambun toke ayam dengan  kerangkeng  di belakang  motornya, serta keranjang di kiri dan kanan.  Bapak Tambun datang ke kandang  yang terletak di sebelah  timur rumah kediaman kami. Awalnya beliau datang hanya ingin mengintip saja ayam-ayam mamak apa sudah cukup umur untuk dipotong.

Kiban  ka rayeuk manok? Nyoe  meuhai  bacut  le ureung  lakee. (Bagaimana apa udah  besar  ayamnya, agak mahal karena banyak yang minta.

"Musem  kenduri, " tambah Bapak dengan handuk cap angsa selalu terlilit di lehernya. Heran pun kutengok tak hujan tak kemarau handuk itu dengan setia menemani Pak Tambun menjalani usaha jual beli ayam dan bebek. Tidak jarang kambing pun pernah ada dalam keranjang motornya. Handuk lusuh itu terus saja bertengger di leher toke manok (ayam) itu.

Mamak  menjawab  dengan gembira. ”Maunya  sebentar lagi, tapi ...  hana  peu lah. Jeut  neu  drop  laju padum-padum boh yang ka rayeuk. (Maunya sebentar lagi, tetapi tidak apa-apa lah. Boleh Bapak tangkap saja beberapa ekor yang sudah besar). Kop Brat seunang hate mak lon (Sangatlah senang hati mamakku).

Pulang  toke manok tersebut,  mamak sudah  mengantongi  beberapa  lembar  uang  seratusan  yang  tanpa  dikomando senyum mamakku tercinta merekah tanpa suara dan tanpa aba-aba. Deretan  gigi  perak  mamak  terlihat rapi, putih tanpa filter. Efek lembar ratusan memang tak terkira. Bahagia tiada tara.

Harusnya dulu saat Mamak masih ada kupastikan apa alasannya Mamak berharap aku jadi peternak. Jangan-jangan Mamak berharap, andai anaknya  yang  menjadi pemilik kandang ayam yang besar. Tentu, setiap setiap panen berlembar-lembar, lembaran  100 lah  yang  masuk  ke kantong  daster Mamak ukuran  jumbo  itu.

Mimpi  tetap  menjadi mimpi bagi Mamak tanpa  satupun  anaknya  dari  delapan  orang yang menjadi  peternak. Impian mamak bertumpu di aku sebagai yang fix, official kuliah dan menjadi sarjana peternakan. Namun  untung  tak  dapat  diraih malang  tak  dapat  ditolak, anaknya yang  memiliki  kembaran  ini  tak  jadi  guru ikut bapak dan tak  pula  jadi peternak yang seharusnya memiliki bakat yang diturunkannya. Anak kembarnya hanya satu menjadi guru dan satunya lagi belum tahu arahnya mau jadi apa.

Setelah  menjadi sarjana  peternakan tak  sedikitpun terbersit  niatku  mulai usaha  ternak, yang seharusnya berusaha mewujudkan mimpi Mamak. Namun,  Sang  anak asik  mengikuti pelatihan untuk anak-anak muda yang nganggur di desa. Beranjak  dari  satu  pelatihan  ke pelatihan lain. Keseruan di  kelas membuatku happy bukan main. Ternyata  hobinya  adalah  belajar.  Jangan  tanya  apakah  ilmu  yang didapat  menunjang  karir  dan  masa  depannya  atau  tidak. Bagiku yang  penting  kalau ada pelatihan dan seminar ikut  saja, sudah.

Sejak rajin ikut seminar dan pelatihan aku mulai bercita-cita menjadi fasilitator, motivator, mediator dan teman-temannya yang ujungnya berbunyi tor, kecuali plagiator, alligator dan koruptor.

Mengapa fasilitator dan mativator ini menjadi hal yang sangat kuimpikan menjadi bagian hidupku  yang bermanfaat bagi orang lain, tidak lain dan tidak bukan karena itu terlihat sangat keren saudara-saudara. Sungguh membayangkannya saja aku sudah merasa, kereeennn ... sekali.

Mudah sekali bagi Najwa syihab merangkai kata penuh makna saat mengkritik penguasa di panggung Mata Najwa. Acara yang sudah  14 tahun dipawanginya, tidak pernah membuat penonton kecewa. Jutaan penonton terhipnotis. Tanpa sadar mengiyakan setiap kata-kata yang keluar dari indera ucap Najwa Shihab. Masyallah anganku melambung, betapa hebatnya diriku seorang Siti Hajar dari pelosok kampung nun jauh di sana, menjadi motivator dan kritikus ulung. Tentu orang sekampungku ikut merasa bangga atas prestasi yang kuraih.

Seorang Siti Hajar yang memiliki suara membulat menjadi pusat perhatian di acara seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan anak muda. Melaksanakan aksinya dengan penuh semangat. Kata-katanya dinanti, seolah mereka tidak sabar apa lagi yang akan diucapkan oleh orang yang berada di depan mereka. Sungguh ini cita-cita yang masih sangat kurindukan, hingga saat ini. Walau nihil harapan untuk terwujud.

Di Dunia nyata sekitar tahun-tahun sebelum pandemi covid-19 beberapa kali aku dipercayakan menjadi master of ceremony (MC) pada acara kecil di tempat kerjaku. Aku sangat menikmatinya.

Aku selalu melakukan persiapan, mulai dari menyiapkan teks, latihan intonasi, gladi resik dan juga jantung berdetak tidak karuan, hal yang kunikmati setiap detiknya. Deg-degan sejak tiga hari sebelum acara dimulai, hingga 10 menit awal acara. Setelah 10 menit berada di panggung, seterusnya Alhamdulillah aku penguasanya. Maaf sedikit jumawa.

Kenangan anggukan kepala dan wajah-wajah tersenyum mengiringi keberlangsungan acara sejak awal sampai akhir menjadi bukti bahwa semua persiapan yang kulakukan tidaklah sia-sia.

Aku kerap dipuji oleh seorang pimpinan tempatku mencari penghidupan. Beliau ini bergelar Profesor yang sangat menyukai seni dan juga mantan penyiar radio. ”Siti memiliki suara yang bulat dan enak di dengar. Saat Dia bersuara, mau tidak mau orang akan menoleh kearahnya dan menyimak kata-kata yang dia keluarkan.”

Amboi ... kata-kata ini kuanggap sebagai pujian yang menambah semangatku dalam berlatih menjadi MC yang lebih baik lagi.

Namun, tahukah kalian. Dunia panggung yang kugeluti tidak berlangsung lama. Aku kemudian memutuskan untuk lebih banyak berada di belakang layar. Pakaian bernuansa hitam dan tertutup membuatku membatasi diri tidak lagi sering berada dikerumunan orang-orang. Dan ini membuatku lebih nyaman. Aku lebih mengenal diri sendiri. Sadar akan fitrah diri sebagai  perempuan. Ada hati yang harus kujaga.

Pandemi covid-19 Allah memberi kesempatan buatku belajar menulis. Beranjak dari satu group kepenulisan ke group menulis lainnya. Tujuanku tidak lain dan tidak bukan aku memiliki niat dengan menulis dapat menebar kebaikan bagi sesama.

Saat ini aku mulai kembali merajut mimpi. Mimpi besar ingin menjadi penulis yang bermanfaat bagi banyak orang. Penulis yang tidak hanya mengisi buku diari day per day,  tetapi penulis yang dapat memberi konstribusi terhadap masalah umat saat ini.

Memaksa diri berubah menjadi lebih baik, mengubah pilihan-pilihan dan memilih yang terbaik untuk diri sendiri, keluarga dan terbaik menurut Allah bukanlah mudah. Tatapan aneh serta gunjingan tidak bisa dihindari. Namun, semua kujalani tanpa perlu mengkonfirmai setiap reaksi negatif yang kuterima. Berpikir positif tanpa menyalahkan siapapun membuat hidup lebih tenang.

Aku Siti Hajar, tetaplah sosok yang haus ilmu. Setiap hari terus merencanakan hal baik apalagi yang bisa kukerjakan, tanpa paksaan, tanpa tekanan dan terus ber-improvisasi. Berharap Allah selalu meridhai setiap langkahku. Aku selalu berusaha menjadi versi terbaikku.

Untuk kalian para pembaca tulisan ini dimanapun berada, semoga apapun rutinitas yang kalian kerjakan, membuat kalian senang mengerjakannya. Apapun itu niatkan ibadah karena Allah. Insyaallah semua itu akan menjadi amalan yang bernilai pahala yang memudahkan kita menju syurganya Allah. Akhirnya salam untuk semuanya. Semoga Allah selalu merahmati setiap langkah kita. Amin

 

Sitihajar. Penulis pemula dan tinggal di Banda Aceh. Sebagai ajang menjalin ukhwah Siti Hajar dapat dihubungi melalui email: sthajarkembar@gmail.com

Lebih baru Lebih lama