Masih Butuhkah Membaca Buku?
Oleh: Siti Hajar
Dulu, ada pepatah yang mengatakan bahwa buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Artinya, memiliki banyak buku saja tidak cukup. Hal yang lebih penting adalah membacanya, bukan sekadar mengoleksinya. Namun, di era digital seperti sekarang, kebiasaan membaca telah mengalami pergeseran. Orang-orang tidak lagi harus memegang buku fisik untuk mendapatkan informasi. Layar ponsel telah menjadi jendela dunia, tempat di mana kita bisa mencari dan membaca hampir semua hal yang kita inginkan hanya dengan beberapa ketukan jari.
Teknologi telah memberikan kemudahan bagi siapa saja yang ingin membaca. Dengan hanya mengetikkan kata kunci tertentu, beragam bacaan pun muncul dalam hitungan detik. Akses informasi menjadi lebih cepat dan luas. Namun, ada perbedaan mendasar antara membaca buku secara langsung dan membaca melalui layar ponsel. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Membaca buku fisik memberikan pengalaman yang berbeda. Saat memegang buku, kita bisa merasakan teksturnya, mencium aroma khas kertas, dan lebih fokus karena tidak ada gangguan dari notifikasi atau aplikasi lain. Di sisi lain, membaca melalui ponsel menawarkan kenyamanan dan fleksibilitas. Kita bisa membaca kapan saja dan di mana saja tanpa perlu membawa buku yang berat.
Namun, ada tantangan besar dalam membaca melalui perangkat digital. Ponsel bukan hanya alat untuk membaca, tetapi juga pintu gerbang menuju media sosial dan hiburan instan. Saat kita membuka ponsel untuk membaca, sering kali kita tergoda untuk mengecek WhatsApp, Instagram, Facebook, TikTok, atau menonton video di YouTube. Alih-alih membaca, kita malah tenggelam dalam konten-konten singkat yang terus bergulir tanpa akhir.
Menonton video memang bisa menjadi sumber pengetahuan yang berharga. Podcast dan berbagai konten edukatif lainnya dapat menambah wawasan kita. Namun, konsumsi video yang berlebihan, terutama konten-konten singkat seperti Instagram Reels dan YouTube Shorts, dapat membentuk pola pikir yang berbeda.
Informasi yang serba cepat ini melatih otak kita untuk selalu menginginkan sesuatu yang instan. Kita menjadi kurang sabar, kurang teliti, dan kurang mampu mendalami sebuah topik secara mendalam.
Dampak dari kebiasaan ini sangat terlihat pada anak-anak kita. Mereka tumbuh di era digital, di mana segalanya tersedia dengan cepat dan instan. Mereka lebih memilih menonton video daripada membaca buku. Ketika diminta untuk menulis, mereka mengalami kesulitan karena kurang terbiasa membaca dan memahami teks secara mendalam. Kemampuan mereka dalam mengolah informasi secara kritis dan mendetail pun berkurang.
Kita perlu menyadari bahwa membaca dan menonton memiliki peran yang berbeda dalam perkembangan intelektual seseorang. Membaca melatih konsentrasi, imajinasi, dan pemahaman yang mendalam, sementara menonton memberikan gambaran visual yang cepat dan mudah dicerna. Keseimbangan antara keduanya perlu dijaga agar anak-anak tetap memiliki kemampuan membaca yang baik, tanpa kehilangan manfaat dari teknologi digital.
Sebagai orang tua, pendidik, atau siapa pun yang peduli terhadap perkembangan anak-anak, kita bisa mulai membangun kebiasaan membaca sejak dini. Membacakan buku untuk anak, memberikan contoh dengan membaca buku secara rutin, serta membatasi waktu menonton video bisa menjadi langkah awal. Teknologi adalah alat yang bisa digunakan dengan bijak, dan tugas kita adalah mengarahkannya agar memberi manfaat maksimal tanpa mengorbankan kebiasaan baik yang sudah ada sejak dulu.
Membaca tetaplah kunci utama menuju gudang ilmu. Mari kita ajarkan anak-anak kita untuk mencintai membaca, baik melalui buku fisik maupun digital, dengan cara yang seimbang dan bertanggung jawab.[]