KUAH BEULANGONG
“Bang, makan siang di luar yuk!” kataku kepada suami—Bang Budy, sambil memutar kunci motor. Aku sedang bersiap menuju tempat kerja yang hanya berjarak dua kilometer dari tempat tinggalku. Entah mengapa dua hari ini aku merasa tidak enak badan. Rasanya butuh makanan pembangkit semangat.
“Boleh,
kemana dan makan apa,” sahut Bang Budy merespon ajakan istrinya sembari mendekatiku.
Mungkin saja ajakanku rada aneh di pendengarannya. Soalnya sudah sangat lama
kami tidak makan siang di luar. Akhir-akhir ini aku selalu menyempatkan diri
masak untuk makan siang keluarga kecil kami.
“Warung
Cut Mun, yuk!” Terbayang sudah tentang Warung yang kusebut barusan. Warung yang
menu andalannya adalah kuah beulangong. Warung tersebut selalu ramai pengunjung
yang datang bersama kerabat dan sahabat mereka. Tidak jarang tamu-tamu dari
luar daerah singgah di warung yang tidak jauh dari Kampus Universitas Syiah
Kuala ini. Tepatnya di Jl. T. Nyak Arif sebelum jembatan Lamnyong Lamgugop Kecamatan
Syiah Kuala Kota Banda Aceh.
“Ah,
katanya sedang naik tensi, yakin mau makan kuah beulangong?” Suamiku
bertanya dengan nada selenge-annya. Benar pula akhir-akhir ini, aku
menghindari makanan-makanan yang menjadi pemicu naiknya tekanan darah. Tekanan
darahku tidak stabil. Menurutku salah satunya penyebabnya adalah daging dan
makanan berlemak lainya.
“Yakinlah
…,” sahutku tanpa ragu. Aku sangat yakin dengan keinginanku kali ini.
Pandanganku
selama ini tentang kuah beulangong yang dapat memicu tekanan darah
meningkat itu ternyata salah. Hal Ini selalu diutarakannya. “Jangan salahkan
makanan. Semua yang Allah halalkan untuk kita makan, itu sehat.”
“Nah,
gitu dong! Yakin bahwa apa yang masuk dalam perut kita itu baik. Jangan
sikit-sikit salahkan makanan.”
“Siap,
Pak Bos. Assalamualaikum.” Aku meninggalkan Pak Suami yang masih berdiri
mengiringi kepergian istrinya. Aku yakin dia juga akan segera bersiap-siap
melakukan aktivitasnya.
Benar
saja, istirahat siang, aku dan Bang Budy sudah duduk manis di warung Cut Mun
dengan hidangan utama kuah beulangong serta lauk lain sebagai pelengkap.
Saat
ini kuah beulangong menjadi menu andalan di Aceh. Tidak hanya di Kota
Banda Aceh dan Aceh Besar, di wilayah Aceh yang lain seperti Sigli, Biruen, Lhokseumawe,
Langsa, Takengon, dan Tamiang serta wilayah Barat Selatan dengan mudah dapat
dijumpai warung yang menyediakan kuah beulangong.
Kuah
beulangoh sendiri adalah kuah daging kambing atau daging sapi yang
kaya dengan bumbu rempah khas Aceh. Daun kari atau daun temurui ini
adalah bumbu aromatik yang tidak boleh lupa, ketumbar, jahe, bawang putih,
bawang merah, kelapa giling dan juga kelapa gonseng. Bumbu-bumbu ini yang juga tidak
boleh di-skip, jika kamu berharap rasa kuah beulangong yang lezat
dan gurih.
Kuah
beulangong khas Aceh Rayeuk (Aceh Besar) biasanya tidak
menggunakan santan. Namun, demikian tidak semua tempat memiliki rasa yang sama.
Ada sebagian orang Aceh yang menambahkan santan dalam racikannya. Rasanya yang
gurih sedikit pedas berwarna merah menambah selera siapa saja yang sedang
merencanakan makan siang yang nikmat.
Nangka
muda selalu ada menemani daging dalam kuah beulangong. Tentu saja selain
meramaikan hidangan yang satu ini, fungsi nangka muda juga dapat menyerap rasa
rempah yang kuat. Teksturnya yang unik, kenyal, dan lembut setelah dimasak,
akan menambah keunikan tekstur hidangan kuah beulangong. Nangka muda
tidak hancur saat dimasak dalam waktu lama, sehingga menjaga bentuk dan
teksturnya.
Selain
nangka muda, pisang setengah matang serta labu air juga sering ditambah dalam kuah
beulangong. Sayur ini juga dirasakan mampu menambah rasa manis dan gurih
pada kuah yang selalu ada pada acara-acara makan besar masyarakat Aceh. Rasanya
belum lengkap kenduri tanpa kuah beulangong.
Kamu
tahu tidak? Ternyata penyajian kuah beulangong sendiri seringkali disertai
dengan menu pelengkap lain, seperti asam udeung (asam udang), sayur bunga pepaya
yang dicampur dengan kelapa parut, dan es timun atau es pepaya parut. Semua
menu ini diyakini mampu menetralkan lemak yang terkandung dalam kuah
beulangong. Jadi jangan takut makan kuah beulangong akan menyebabkan
kolesterol dan tensi darah kalian meningkat, bila kamu memperhatikan jumlah
daging dalam kuah beulangong yang kamu santap. Mentang-mentang rasanya
enak, kamu lantas kalap dan memakannya dalam jumlah yang banyak dan juga
sering.
“Jangan,
ya Dek, jangan!” kata suamiku meniru gaya Yura yang akhir-akhir tenar di jagad
maya.
“Wah,
beres sekali ya rasanya!” Aku, mau tidak mau berkomentar, karena tiba-tiba saja
nasi tambah yang ada di depanku sudah berpindah tempatnya. “Harus tambah nasi,
Bang!” lanjutku kepada Bang Budy, yang jatah nasi tambahnya sudah duluan habis.
“Hana
ubat (tidak ada obat). Toko obat tutup,” jawab Bang Budy sambil menyeruput
es timunnya yang tinggal setengah gelas.
Makin
siang warung Cut Mun ini semakin ramai saja. Orang-orang melepaskan lelah dan
bersantai di warung dengan bangunan sederhana ini. Tidak masalah dengan
tempatnya yang penting bersih, nyaman dan makanannya enak.
“Awas,
jangan kebanyakan, nanti tensinya naik, tuh!” Bang Budy mengingatkanku sambil
tertawa.”
“Hahaha,
tenang, Bang. Enggak berlebihan juga kita makannya.”
“Betul,
dan yang penting, yakin apa yang kita makan akan membawa kebaikan bagi tubuh
kita, bukannya salah satu tujuan mengisi perut itu agar kuat beribadah.”
“Betul
kali, lah itu Bang!”
Makan
siang besar dengan menu utama kuah beulangong ini kami membayar Rp110.000
untuk dua porsi. Sementara kuah beulangong saja nilainya kisaran Rp25.000-30.000,
Kami
mengakhiri makan siang hari itu dengan rasa senang dan bahagia.
BIONARASI
Siti
Hajar, seorang perempuan asal Sigli, Aceh, lahir pada tanggal 17 Desember.
Perjalanannya di dunia literasi dimulai pada akhir Desember 2021, ketika ia
menemukan bahwa menulis lebih dari sekadar kata-kata di atas kertas—menulis
baginya adalah sebuah jejak yang bernilai yang dapat diwariskan kepada
pembacanya. Setiap cerita yang ia tuangkan adalah jejak yang ingin
ditinggalkannya untuk anak cucu di masa depan. Beliau dapat dihubungi melalui email: sthajarkembar@gmail.com.