Celebrasi Wisuda, Pentingkah?
Oleh: Siti Hajar
Wisuda yang dulunya identik dengan kelulusan jenjang pendidikan tinggi kini telah merambah ke setiap tingkat pendidikan, bahkan sejak TK. Upacara kelulusan ini, yang ditandai dengan penggunaan jubah hitam dan pemindahan pita toga, kini menjadi agenda rutin di banyak sekolah dasar dan menengah. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah perayaan semacam ini benar-benar diperlukan?
Dahulu, kelulusan dari SD, SMP, dan SMA hanya ditandai dengan perpisahan sederhana. Tidak ada jubah, toga, atau penyewaan gedung megah. Acara lebih bersifat reflektif, menguatkan pesan moral dan motivasi untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Kini, wisuda bukan sekadar seremoni akademik, tetapi telah menjadi ajang pamer yang mengutamakan estetika dibanding substansi. Bagi generasi saat ini, dokumentasi momen wisuda di media sosial seolah menjadi keharusan, bahkan lebih penting daripada esensi kelulusan itu sendiri.
Lebih ironis lagi, dalam banyak kasus, ijazah yang seharusnya menjadi bukti kelulusan belum tersedia, sementara acara perayaan sudah lebih dulu diselenggarakan. Beberapa sekolah bahkan belum menyelesaikan proses ujian, tetapi sudah sibuk mengatur agenda wisuda. Hal ini menunjukkan pergeseran makna kelulusan dari pencapaian akademik menjadi sekadar perayaan sosial.
Di tingkat pendidikan dasar, antusiasme justru lebih banyak datang dari orang tua dibandingkan anak-anak. Generasi X dan Y yang kini menjadi orang tua siswa tampaknya lebih bersemangat merayakan kelulusan anak-anak mereka, meski tidak semua anak menikmati acara tersebut. Bagi anak usia dini, pakaian formal yang panas dan rangkaian acara yang panjang sering kali menjadi pengalaman yang tidak nyaman. Tidak sedikit yang menangis atau merasa terpaksa mengikuti prosesi semacam ini.
Fenomena ini juga menimbulkan beban ekonomi bagi banyak keluarga. Tidak semua orang tua memiliki kemampuan finansial untuk membiayai perayaan semacam ini. Bagi mereka yang harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyiapkan pakaian, foto, dan biaya lainnya untuk wisuda bisa menjadi tekanan tersendiri. Banyak yang terpaksa berhutang atau mengorbankan pengeluaran lain demi memenuhi tuntutan sosial ini.
Pemerintah Aceh sebenarnya telah mengeluarkan surat edaran yang melarang perayaan kelulusan di sekolah, tetapi implementasinya masih lemah. Banyak sekolah tetap mengadakan wisuda dengan alasan mengikuti kebiasaan yang telah mengakar. Tekanan sosial juga membuat orang tua dan siswa merasa wajib untuk ikut serta, meskipun ada kendala ekonomi.
Saya masih ingat ketika sekolah saya mengadakan acara perpisahan saat SMA. Tidak ada wisuda atau toga, hanya sebuah perayaan sederhana di aula sekolah. Kami tetap mengenakan seragam putih abu-abu, duduk bersama mendengarkan pesan-pesan dari kepala sekolah dan guru-guru. Beberapa siswa menampilkan tarian dan musik sebagai bentuk perpisahan. Tidak ada biaya besar, tidak ada tekanan ekonomi, hanya momen kebersamaan yang penuh makna. Orang tua kami pun tidak diundang karena acara ini lebih ditujukan untuk kami, para siswa yang akan melanjutkan perjalanan hidup ke jenjang berikutnya. Momen ini mengajarkan bahwa kebersamaan dan kenangan lebih berharga daripada sekadar kemeriahan yang berlebihan.
Jika budaya ini sulit dihilangkan, seharusnya ada regulasi yang mengatur standar pelaksanaan wisuda agar tidak menjadi beban bagi orang tua. Perayaan kelulusan sebaiknya tetap sederhana dan bermakna tanpa perlu menghamburkan biaya besar. Yang lebih penting adalah bagaimana sekolah menanamkan nilai pendidikan dan kesiapan siswa menghadapi tantangan di jenjang berikutnya, bukan sekadar kemeriahan seremonial.
Bagi siswa yang merasa terbebani oleh biaya wisuda, tidak mengikuti acara ini bukanlah suatu masalah. Kesuksesan tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya foto wisuda. Banyak individu sukses yang bahkan tidak memiliki foto kelulusan mereka. Yang lebih utama adalah pendidikan itu sendiri, bukan perayaannya. []