Bukti Sayang Bukan Warisan Utang
Oleh: Siti Hajar
“Mak, ini semua catatan hutang bapak yang dari kemarin coba
kutelusuri bersama Rahmat,” Safran menyerahkan kertas putih lusuh tulisan
tangan acak adul kepada mamaknya—Ruhana. Safran adalah anak pertama Ruhana dan
Bang Mantri. Adiknya yang kedua bernama Rahmat, seterusnya ada Sulaiman,
Fathun, Mawar, dan Dahlia.
Sepuluh hari sudah, Bang Mantri meninggal dunia. Bukan hanya
duka kehilangan, tetapi juga sakit hati yang tak terbilang karena Bang Mantri
tidak hanya meninggalkan istrinya menjadi janda serta enam anaknya, tetapi dia
juga meninggalkan utang yang tak terbilang banyaknya.
Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Bukan hanya angka
nominalnya tinggi, tetapi jumlah warung yang mencatat utang mereka pun lebih
dari 20 warung. Semua penjual yang ada di Kampung Meurandeh ini ada utangnya
Bang Mantri. Warung Kak Husna, warung kopi Keude Simpang, toko beras dan telur
milik Haji Bardan juga ada. Kios Bang Man, Kios Kak Rini, Depot bensin Bang
Usop, keude sayur Kak Fatma dan Bengkel sepeda Lem Baka pun ada hutang keluarga
Bang Mantri.
Pusing kepala Ruhana, melihat daftar dan angka yang tertera
di sana.
Perempuan yang kini tampak lebih tua dari usia biologisnya
itu sadar bahwa dirinya pun ikut andil dalam perutangan Bang Mantri. Bagaimana
tidak, saat Bang Mantri memberitahu kalau mereka sudah tidak punya uang lagi,
selalu kata-kata yang keluar dari mulut Ruhana adalah, “Utang dulu aja, Bang,
di warung Kak Rini.” Besoknya, saat enggak ada beras, “Utang saja dulu di toko
Haji Bardan.” Selalu saja begitu.
Ruhana sangat mencintai suaminya, pun demikian dengan Mantri
kepada Ruhana. Cinta mereka tidak memandang usia, harta benda dan status
sosial. Bang Mantri sudah sepuh saat menikahi Ruhana dan memiliki delapan anak
dari istrinya yang lain. Sementara Ruhana saat itu baru berumur tidak lebih
dari 20 tahun. Awalnya Ruhana kasihan melihat Bang Mantri hidupnya
terlunta-lunta dan kerap singgah di rumahnya untuk berbincang-bincang dengan
ayahnya.
Bang Mantri dengan nama asli Perdamaian, dipanggil Mantri
karena bisa mengobati orang sakit, terutama yang berhubungan dengan sakit
tulang dan penyakit kulit. Namun, demikian Bang Mantri menolak dipanggil tabib
apalagi dukun. Maka kemudian orang-orang memanggilnya Mantri. Nama itulah yang
melekat pada suami Ruhana itu sampai ajalnya tiba.
Dulu ayah Ruhana sering mengajak Bang mantri makan di rumah
mereka, tidak jarang laki-laki tua itupun sering menginap di sana. Dia tidur
di bale-bale samping rumah Ruhana.
Saat itu juga tidak tahu mengapa kulit Ruhana dipenuhi
bentol-bentol merah seperti jerawat di sekujur tubuhnya. Bang Mantrilah yang
akhirnya mengobati sakitnya Ruhana.
Nasib gadis yang merupakan anak pertama dari empat
bersaudara yang kesemuanya perempuan itu dari kasihan berubah menjadi cinta
kepada Bang Mantri.
“Bang Mantri itu lucu, dia sering bikin ulok.
Aku suka saat dia bikin cerita lawak,” kisah Ruhana saat ada yang bertanya
alasan mengapa jatuh cinta pada Bang mantri.
Walau mereka saling sayang, tetapi pernikahan mereka tanpa
restu ayahnya. Ayah mana yang dengan ikhlas, merelakan gadisnya menikah dengan
laki-laki yang hampir seusianya.
Sementara itu, ibunya tidak mau pusing dengan pilihan
anaknya. “Semua terserah kamu, yang menjalani hidup ini nantinya adalah kamu
sendiri. Terserah ….”
Makanya saat keluarga Ruhana terdesak mengalami krisis
keuangan yang berulang sejak awal menikah hingga Bang Mantri menutup mata,
Ruhana malu untuk minta tolong kepada orang tuanya.
“Mak, apa kita cukup uang untuk membayar utang-utang bapak
ini?” tanya Safran membuyarkan lamunan Ruhana. Kertas catatan tadi masih di
tangannya. Anak pertama yang kini akan menjadi pengganti bapaknya mulai
mengambil peran. Membantu mengurus utang-utang bapaknya.
“Mana cukup Safran, uang sumbangan dari tetangga kita dan
beberapa orang yang mengenal bapakmu sudah habis untuk bayar utang makcikmu,
yang juga tidak sedikit. Kalau adikmu minta jajan pun, Mak pusing, tidak tahu
ambil uang darimana,” keluh Ruhana. Rasanya beban di bahunya jauh lebih berat
dibandingkan Gunung Seulawah.
“Jadi bagaimana ini, Mak?” Safran anak laki-laki yang sudah
baligh ini paham apa yang akan dialami bapaknya di akhirat jika masih ada
hutang di dunia yang belum beres.
“Aku takut kalau kita lama baru bisa melunaskan utang-utang
bapak. Bapak akan kena azab di akhirat sana, Mak!” Mata Safran mulai mengembun.
Safran tidak rela, ayah yang sangat mencintainya mendapat hukuman dari Allah
gara-gara utang yang belum bisa mereka lunasi.
Hari ini mungkin tidak ada lagi orang semiskin mereka di
negeri yang katanya melindungi fakir miskin dan anak terlantar ini.
“Andai Bang Mantri semasa hidup memiliki tanah, kita bisa
usahakan bantuan gampong untuk membangun rumah untuk janda dan anak yatim
beliau. Namun, jangankan mampu beli tanah, makan sehari-hari saja mereka harus
utang sana-sini, kasihan.” Ini adalah kata-kata Keuchik Kampung Meurandeh
tempat mereka tinggal sementara.
Benar saja selama ini mereka tinggal di kebun orang yang
mereka sewa dua juta Rupiah pertahun. Bang Mantri membuat rumah darurat yang
dinding dan atapnya dari terpal yang berwarna biru, sementara lantai adalah
tanah basah yang ditutupi dengan terpal bekas. Bayangkan saja kalau musim
hujan, Bang Mantri harus menggali parit agar air hujan tidak membuat becek
lantai tanah liat mereka.
Ruhana benar-benar perempuan yang tahu diri. Tidak pernah
terdengar kata-kata keluhan keluar dari mulutnya. Ini diakui oleh tetangganya
Kak Mehra. Bahkan saat dia dan anak-anak harus makan dengan kuah bayam tok ditambah
garam, dia tidak protes kepada suaminya.
“Mak si Safran itu tidak pernah menceritakan bagaimana
pahitnya hidup keluarga mereka. Kecuali sudah benar-benar putus dan tidak ada
lagi orang yang mau memberi mereka utang, baru dengan malu-malu Kak Ruhana
bertanya, apa saya ada simpanan beras.” Ini kisah Kak Mehra tentang Ruhana saat
tetangganya penasaran sekaligus heran dengan cara hidup Ruhana.
“Memang sudah begini takdir kami. Tidak ada guna mengeluh,
kami juga tidak minta untuk hidup miskin sama Allah. Kami yakin ini adalah
ujian sekaligus jalinan takdir yang harus kami terima.” Ini salah satu model
ratapan Ruhana.
Ayahnya yang dulu tidak merestui Ruhana menikah, hari ini
ketika anaknya menjadi janda, akhirnya menerima bahwa Ruhana kembali menjadi
tanggung jawabnya. Dia tidak mungkin menutup mata melihat derita anak dan
cucu-cucunya. Bagaimanapun kondisi hidupnya, dia adalah darah dagingnya.
Anak-anak Ruhana adalah penerus garis keturunannya.
“Ruhana, kau tak perlu segan kepada ayah dan ibumu. Kini
Mantri sudah tidak ada, pulanglah ke rumahmu, rumah orang tuamu. Buang
gengsimu!” kata Pak Gani di sela-sela sengalan napasnya.
“Dulu, kau tidak mau menyibukkan kami, karena alasan menjaga
marwah suamimu. Kamu tidak ingin terlihat menderita di depan kami. Hingga tak
ada beraspun tidak mau mengatakan kepada kami. Kalian sengaja tinggal jauh,
agar tak risau ayahmu ini. Ayah tahu … kau cukup bertanggung jawab dengan jalan
hidup yang kamu pilih. Kau memang gadisku, yang mewarisi sifat keras kepala
dariku. Aku kecewa sekaligus bangga denganmu, Ruhana.” Pak Gani kini terbatuk.
Dengan segera Ruhana mengambil gelas dan diisikannya air putih, kemudian
diserahkan kepada ayahnya.
Setelah sekian lama tidak pernah lagi mendekap tubuh ringkih
ayahnya, kini tubuh itu dipeluk Ruhana erat, walau tubuh tua itu bau balsem.
Sakit rematik yang diderita Pak Gani membuat beliau tidak
bisa jauh dengan ramuan mint bercampur herbal itu. Aroma yang sangat menyengat,
bau minyak kayu putih bercampur cengkeh dan kayu manis. Bagi orang tua mungkin
menyegarkan, tetapi tidak bagi anak muda. Ini adalah aroma khas nenek-nenek.
“Maafkan Aku, Ayah!” Hanya kata-kata itu yang keluar dari
mulut Ruhana. Perempuan tangguh yang kini harus berpikir keras bagaimana
caranya melunaskan utang-utang peninggalan suaminya.
Ruhana yang kini bertubuh tambun itu bingung karena tidak
pernah bekerja apapun sejak dia menikah. Selama ini dia hanya mengurus suami
dan anak-anaknya. Kalau pun ada, hanya bantu-bantu Bang Mantri menanam sayur di
sekeliling gubuk mereka.
“Aku tidak menyangka deretan hutang yang harus kubayar,
bang! Sungguh kamu tegaaa … katanya kamu sayang dan mencintai aku. Tapi, tidak
juga dengan warisan hutang yang harus kubayar,” ratap Ruhana menyayat hati
di sepertiga malam.
“Allah beri hamba petunjuk!” Ruhana tidak
putus harap. Allah pasti tidak akan membiarkan hambanya terus menderita.
***
Tak disangka, keesokan harinya Ruhana dikejutkan dengan
kehadiran seorang laki-laki muda mendatangi gubuk terpal mereka.
Anak muda itu memperkenalkan diri sebagai anak dari Haji
Ma’un. Beliau adalah orang yang pernah diobati sakit oleh suami Ruhana dan
sudah lama meninggal. Anaknya baru saja menemukan surat dari meja kerja ayahnya
yang berpesan untuk mencari keluarga Bang Mantri, dan beliau menghadiahkan
sebidang tanah untuk keluarga itu.
Ternyata Allah mendengar doa-doa Ruhana, janda Bang Mantri
yang beruntung karena budi baik suaminya, walau dia miskin harta, tetapi tidak
pernah putus asa dan selalu berprasangka baik kepada Allah Sang Maha pemberi
rezeki.[]
***
Bionarasi
Siti Hajar adalah seorang penulis yang tinggal di kota Banda
Aceh, lahir di Pidie pada tanggal 17 Desember. Menulis beberapa buku yang
sudah cetak, di antaranya kumpulan cerpen, “Kisah Gampong Meurandeh” Novel,
Sophia dan Ahmadi, Patok Penghalang Cinta. Dia juga menulis beberapa novel
anak, di antaranya The Spirit of Zahra, Mencari Medali yang Hilang, Petualangan
Hana dan Hani. Ophila si Care Taker. Dan buku Non Fiksi, Empati Dalam Dunia
Kerja (Bagaimana Menjadi Bos dan karyawan yang Elegan).
Beliau bisa dihubungi melalui email: sthajarkembar@gmail.com