Bab I (Aneuk Meutuah)



Oleh: Siti Hajar

Nyak Malem berarti "Anak yang Malem"—seorang anak yang alim, dengan harapan kelak memiliki ilmu agama yang tinggi. Demikian harapan seorang ayah muda-Nyak Raman kepada putranya yang baru dilahirkan, saat itu.

Namun, takdir berkata lain. Sejak usia lima tahun, Nyak Malem hanya tinggal bersama ibunda tercinta, karena sang ayah telah kembali ke hadapan Sang Pencipta.

"Malem..." panggil sang ayah kala itu, suaranya lemah. Ia adalah laki-laki yang seharusnya sehat untuk menemani tumbuh kembang anaknya, tetapi kini terbaring tak berdaya. Sakit ginjal yang dideritanya membuat tubuh besarnya semakin lemah. Untuk berdiri saja, ia harus menopang tubuhnya dengan tangan di pinggang.

Kebiasaan begadang dan jarang minum air putih membuat air kencingnya berbuih semakin banyak dari hari ke hari. Kulitnya yang dulu terlihat sehat walau saban hari terkena matahari mulai pucat, pigmen-pigmen hitam pada kulitnya semakin tampak jelas di seluruh permukaan kulitnya.

Malem kecil mendekati ayahnya, belum paham bagaimana cara mengurangi beban yang diderita orang tuanya.

"Ayah, Malem sudah hendak ke rumah Tengku, belajar mengaji."

"Masyaallah, anak ayah sudah besar. Aneuk meutuah (anak yang bertuah), rajinlah belajar ilmu agama hingga menjadi anak yang malem. Dengar apa yang dikatakan mamak dan Tengku di rumah ngaji."

Malem adalah anak semata wayang di keluarga itu. Mendengar tutur ayahnya, bocah itu hanya mengangguk dan berkata, ”baik ayah.”

 Dia tak pandai menebak apa yang akan terjadi pada ayahnya. Sudah sebulan ini, sang ayah tidak lagi mengajaknya ke sawah di sore hari. Malem pun tak pula bisa menduga bahwa ini adalah akhir hidup ayahnya.

Anak kecil dengan kulit terbakar matahari itu mengambil tangan ayahnya, mencium punggung tangan yang kini kering. Jika sedikit saja minum air yang banyak Raman merasakan sesak di dadanya.

Sudah tentu cairan kini memenuhi ruang pernafasannya. Tubuh sang ayah mulai membiru dan menghitam. Racun akibat rokok dan makanan kini menjalar kemana-mana. Sungguh nasib buruk menimpa Nyak Raman.

Benar saja. pulang dari rumah ngaji sehabis Isya, Malem melihat ibunya duduk meratapi tubuh sang ayah.

"Mak...!"

"Malem, anakku, ayahmu sudah meninggal..." Nyak Rohani terisak, memeluk anaknya erat, seakan tak ingin kehilangan lagi. Lalu ia meminta Malem bergegas memanggil Uwak Brahim-imam kampung itu. Beliau adalah tetangga sebelah rumah Nyak Malem.

Tak lama kemudian, melalui pengeras suara meunasah, tersiar kabar bahwa Nyak Raman bin Abdullah telah meninggal dunia.

Semua orang kampung berduka. Raman muda—ayah Malem, adalah pemuda tampan dan baik hati. Hampir seluruh warga kampung Meurandeh pernah merasakan kebaikannya. Tua dan muda merasa sangat dekat dengan Nyak Raman. Namun, demikianlah ajal tidak ada yang menyangka dan bisa datang kapan saja.

Setelah upacara pemakaman, rumah Malem yang tadinya ramai oleh pelayat perlahan menjadi sunyi. Hanya cahaya temaram dari lampu pijar lima watt yang menyala di ruang depan dan tengah rumah mereka.

Sejak kepergian ayahnya, Malem tumbuh menjadi sosok yang bertanggung jawab. Ia menemani ibunya menggarap sawah milik Toke Mudawali—satu-satunya warisan yang ditinggalkan mendiang ayahnya. Di sela-sela pekerjaannya, ia tetap rajin bersekolah dan mengaji di rumah Tengku Samad. Bacaan Al-Qur'annya semakin lancar, dan ia makin bersemangat mendalami ilmu agama.

Kadang, karena terlalu bersemangat, Malem lupa bahwa Tengku Samad sudah tua dan butuh istirahat. Untuk membuat gurunya senang, ia kerap mengurut kaki dan lutut sang Tengku dengan minyak simplah—minyak kelapa yang dibuat tanpa terkena matahari.

Herannya, dalam keadaan tertidur dan terjagapun, Tengku Samad tetap menyimak bacaan Qur’an dan kitab dari Nyak Malem. Ilmu Malem semakin dalam seiring waktu.

Sekarang, ia telah aqil baligh, menjadi seorang pemuda yang gagah dan santun, seperti ayahnya dahulu.

Suatu petang, setelah seharian membajak sawah, Malem pulang dengan tubuh penuh lumpur. Ia berjalan menuju alur kecil di dekat jembatan pinang di jalan menuju kampungnya. Dia ke alur itu untuk membersihkan diri. Jembatan itu terbuat dari tujuh batang pohon pinang yang dijajarkan serta diikat di kedua ujungnya dengan tali ijuk yang kuat.

Tiba-tiba, suara teriakan menggema.

"Awasss...!"

Refleks, Malem menoleh dan menangkap tubuh seorang gadis yang hampir terjatuh dari jembatan.

"Owhhh...."

Suara gadis itu bergetar, mencerminkan ketakutan yang teramat sangat.

"Nyak Tihawa..." gumam Malem, mengenali sosok yang kini ada dalam pelukannya.

"Bang Malem..." Tihawalina menatapnya. Pandangan mereka bertaut, ada binar yang sulit dijelaskan di sana.

Bagi Malem, ini adalah perasaan yang sudah lama dirindu dan didamba, sama halnya dengan pemuda-pemuda lain di kampung itu. Tihawalina adalah gadis belia yang terkenal karena kelembutan hatinya. Jauh berbeda dengan ayahnya yang congkah dan pongah ketika berhadapan dengan petani miskin di kampung itu.

Sementara Tihawalina melihat Malem dengan cara berbeda—bukan sebagai buruh ayahnya, melainkan sebagai sosok yang menarik dan penuh kehangatan.

Namun, momen itu tak berlangsung lama.

"Tihawa! Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Toke Mudawali menggema, membuat jantung Malem berdegup kencang.

"Ayah... ini tidak seperti yang Ayah pikirkan..." Tihawalina tergagap, baru menyadari bahwa buku catatan utang ayahnya yang ia bawa kini basah terkena percikan air. Dengan buru-buru, ia menyerahkan tersebut ke tangan ayahnya.

Namun, Toke Mudawali tak menggubrisnya. Dengan wajah merah padam, ia menarik tangan putrinya.

"Ayah, tolong dengarkan aku!"

"Diam! Aku tidak ingin melihatmu dekat-dekat dengan dia lagi!"

Malem berdiri terpaku, wajahnya tertunduk di hadapan majikannya.

"M-maaf, Toke..." suaranya lirih.

Tanpa kata tambahan, Toke Mudawali menyeret putrinya pergi, meninggalkan Malem dengan hati yang remuk. Ia sadar, Tihawalina bukanlah gadis biasa—ia adalah anak tuan tanah, sementara dirinya hanyalah seorang buruh miskin.

Bagaimana nasib Malem dan Tihawalina selanjutnya? Akankah mereka dapat bersatu, atau cinta mereka harus berakhir karena perbedaan status?

Bersambung...




Lebih baru Lebih lama